BANYU POS JAKARTA. Industri batubara nasional masih dihantui tekanan berat. Prospek emiten-emiten produsen batubara kian menantang seiring dengan berlanjutnya tren pelemahan ekspor komoditas ini, menciptakan sinyal bahaya bagi kinerja perusahaan sepanjang tahun 2025.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, nilai kumulatif ekspor batubara Indonesia pada periode Januari-Oktober 2025 telah mencapai US$ 20,09 miliar, mengalami penurunan signifikan sebesar 20,25% secara tahunan. Tidak hanya dari sisi nilai, volume ekspor batubara nasional juga terkoreksi 4,10% menjadi 320,37 juta ton pada periode yang sama.
Ekky Topan, seorang Investment Analyst dari Infovesta Utama, menyoroti bahwa penurunan ekspor batubara yang terus terjadi hingga memasuki kuartal keempat ini merupakan indikator penting akan adanya tekanan berkelanjutan. Emiten batubara, khususnya yang memiliki orientasi ekspor yang tinggi, diperkirakan akan kembali menghadapi kinerja yang tertekan.
Aneka Tambang (ANTM) Pastikan Bisnis Emasnya Tak Terdampak Bea Keluar Ekspor
Anjloknya nilai ekspor lebih dari 20% dan volume ekspor di atas 4% merefleksikan adanya pelemahan permintaan global. Hal ini tidak lepas dari perlambatan ekonomi di Tiongkok serta percepatan transisi energi yang agresif di negara-negara importir batubara utama. Meskipun ada potensi kenaikan permintaan batubara yang bersifat musiman menjelang akhir tahun, terutama terkait musim dingin, dampaknya diprediksi tidak akan terlalu signifikan. Stok batubara di negara importir utama seperti Tiongkok dan India yang masih relatif tinggi menyebabkan kebutuhan tambahan mereka tidak sebesar tahun-tahun sebelumnya.
“Artinya, pemulihan pada November-Desember mungkin hanya bersifat teknikal dan tidak cukup untuk menutup tekanan sepanjang tahun,” ujar Ekky, Senin (8/12).
Di sisi lain, Nafan Aji Gusta, Senior Market Analyst Mirae Asset Sekuritas, menambahkan bahwa penurunan ekspor batubara nasional ini semakin mempersulit upaya pemulihan kinerja emiten batubara. Terlebih lagi, harga jual rata-rata atau average selling price (ASP) batubara juga masih tertekan sepanjang tahun ini.
Untuk meredakan tekanan tersebut, emiten batubara dapat mempertimbangkan penguatan kontrak penjualan, khususnya untuk memenuhi kebutuhan domestik seperti pasokan energi. Namun, perlu dicatat bahwa harga domestic market obligation (DMO) cenderung lebih rendah dibandingkan harga ekspor, yang berpotensi mengurangi margin emiten, terutama jika biaya produksinya tinggi. “Pengalihan negara tujuan ekspor juga termasuk langkah ideal,” imbuhnya, Senin (8/12/2025).
Mayoritas Saham Emiten Emas Merosot di Tengah Isu Penerapan Bea Keluar Ekspor Emas
Ekky memproyeksikan bahwa prospek emiten batubara pada tahun 2026 masih akan diwarnai tantangan lanjutan, terutama jika permintaan ekspor belum sepenuhnya pulih. Emiten yang sangat bergantung pada pasar Tiongkok dan India perlu lebih adaptif, baik dengan diversifikasi negara tujuan seperti Vietnam, Bangladesh, Filipina, hingga Eropa Timur, maupun dengan memaksimalkan pasar domestik. Tantangan ini semakin bertambah dengan adanya kebijakan pungutan bea keluar batubara yang akan diimplementasikan pada 2026, dengan tarif dipatok pemerintah pada kisaran 1% hingga 5%.
“Bagi emiten yang terlalu mengandalkan volume ekspor, strategi mitigasi harus lebih komprehensif, termasuk efisiensi biaya, optimalisasi kontrak jangka panjang, serta fokus pada batubara kalori rendah yang permintaannya relatif lebih stabil,” ungkap Ekky.
Lebih lanjut, Ekky menjelaskan bahwa dalam kondisi pasar yang fluktuatif seperti saat ini, emiten batubara yang paling mampu bertahan umumnya adalah perusahaan dengan fundamental paling kuat. Kriteria tersebut mencakup biaya produksi yang rendah, kepastian kontrak penjualan jangka panjang, struktur modal yang sehat, serta diversifikasi bisnis yang sudah mulai berjalan. Emiten besar seperti PT Bukit Asam Tbk (PTBA), PT Adaro Andalan Indonesia Tbk (AADI), dan PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG) dipandang berada dalam kategori ini berkat manajemen biaya yang efisien dan neraca keuangan yang kuat.
Kinerja Amman (AMMN) Diproyeksikan Positif usai Dapat Rekomendasi Ekspor Tembaga
Selain itu, beberapa emiten berkapitalisasi menengah seperti PT Indika Energy Tbk (INDY) dan PT BUMA Internasional Grup Tbk (DOID) mulai mengurangi ketergantungan terhadap batubara melalui diversifikasi ke energi bersih dan mineral lainnya. Emiten yang memiliki integrasi dari tambang ke logistik dan pembangkit listrik juga dinilai lebih tahan banting, karena model bisnisnya tidak hanya bergantung pada satu sumber pendapatan.
Secara umum, saham batubara tetap menarik bagi investor yang mencari dividen serta valuasi yang relatif murah. Banyak saham batubara saat ini diperdagangkan pada valuasi rendah, dengan Price to Book Value (PBV) di bawah 1 kali, dan Price to Earning Ratio (PER) satu digit.
Untuk tahun 2026, Ekky menilai saham batubara yang lebih menarik adalah emiten dengan diversifikasi bisnis yang jelas atau produsen berbiaya rendah seperti PTBA dan AADI, dengan potensi target penguatan moderat. Di lain pihak, terdapat rekomendasi akumulasi saham PT Alamtri Minerals Resources Tbk (ADMR) dengan target harga di level Rp 1.620 per saham. Menurut pandangan analis, prospek emiten batubara secara umum memang tidak terlalu positif pada 2025. Namun, peluang tetap terbuka lebar bagi emiten yang berkomitmen pada diversifikasi di luar bisnis batubara guna meningkatkan aspek keberlanjutan jangka panjang perusahaan.




