Mahkamah Konstitusi Gelar Sidang Lanjutan Uji Materi UU Cipta Kerja, Soroti Dampak PSN terhadap HAM dan Lingkungan
Mahkamah Konstitusi (MK) kembali melanjutkan sidang ketiga judicial review Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Cipta Kerja pada hari Selasa, 19 Agustus 2025. Gugatan ini diajukan atas dasar kekhawatiran mengenai potensi kerancuan hukum, pembajakan regulasi, serta pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang semakin marak dalam Proyek Strategis Nasional (PSN).
Edy K., anggota Gerakan Rakyat Menggugat (Geram) PSN dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), menegaskan bahwa judicial review ini bukan sekadar persoalan pasal-pasal dalam UU Cipta Kerja, melainkan sebuah ujian terhadap arah pembangunan nasional. “Keputusan MK dalam perkara ini akan menjadi penentu. Apakah pembangunan nasional benar-benar berpihak pada kepentingan rakyat dan kelestarian lingkungan, atau justru tunduk pada logika investasi yang mengorbankan hak asasi manusia, kedaulatan rakyat, dan masa depan ekologis bangsa,” ujarnya dalam keterangan tertulis pada hari yang sama.
Geram PSN secara resmi mengajukan permohonan judicial review pada tanggal 4 Juli 2025. Koalisi ini terdiri dari delapan organisasi masyarakat sipil, satu individu, serta dua belas korban PSN yang berasal dari berbagai kalangan, termasuk masyarakat adat, petani, nelayan, dan akademisi. Mereka bersatu menyuarakan keprihatinan atas dampak negatif PSN.
UU Cipta Kerja memang dipandang memberikan kemudahan dan mempercepat pelaksanaan PSN. Ketentuan-ketentuan yang mendukung hal ini tersebar di berbagai sektor hukum, termasuk dalam Undang-Undang Kehutanan, Undang-Undang Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan, Undang-Undang Penataan Ruang, serta Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Namun, implikasi dari kemudahan ini menjadi sorotan utama.
Secara substansial, norma-norma yang terkandung dalam UU Cipta Kerja dinilai memicu kerancuan hukum dan membuka peluang terjadinya pembajakan regulasi. Frasa “kemudahan dan percepatan PSN” dianggap terlalu abstrak dan multitafsir, memberikan kewenangan yang berlebihan kepada pemerintah untuk meloloskan proyek-proyek besar tanpa mekanisme pengawasan yang memadai dan transparan.
Edy K. menjelaskan bahwa kondisi ini bertentangan dengan prinsip negara hukum dan supremasi konstitusi yang diamanatkan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Lebih lanjut, ketentuan mengenai kemudahan PSN berimplikasi pada penyalahgunaan konsep “kepentingan umum,” yang seharusnya dimaknai secara lebih ketat dan terukur.
Dalam praktiknya, konsep “kepentingan umum” ini seringkali dijadikan dasar hukum bagi badan usaha untuk melakukan pengambilalihan tanah milik warga, termasuk tanah adat, tanpa memberikan perlindungan hukum yang memadai bagi masyarakat yang terdampak. Akibatnya, penggusuran paksa dan perampasan ruang hidup warga menjadi pemandangan yang umum terjadi.
“Dampaknya sangat nyata, yaitu terjadinya penggusuran paksa dan perampasan ruang hidup warga, yang bertentangan dengan jaminan hak atas kepastian hukum dan perlindungan hak asasi manusia sebagaimana yang diamanatkan oleh konstitusi,” tegas Edy.
Sidang kali ini juga menyoroti dimensi permasalahan PSN secara lebih mendalam dengan menghadirkan sejumlah korban proyek secara langsung. Mereka berasal dari berbagai daerah, termasuk masyarakat adat dari Merauke yang merasakan dampak proyek Food Estate, warga Pulau Rempang di Kepulauan Riau yang terancam penggusuran akibat proyek Rempang Eco City, masyarakat Sulawesi Tenggara yang terdampak proyek tambang nikel, warga Kalimantan Timur yang terdampak pembangunan Ibu Kota Negara (IKN), serta masyarakat Kalimantan Utara yang terkena imbas Kawasan Industri Hijau Indonesia (KIHI).
Menurut Edy, kesaksian para korban ini menjadi bukti nyata permasalahan yang melekat pada PSN. “Dampak PSN bukanlah sekadar abstraksi hukum, melainkan kenyataan hidup yang pahit berupa hilangnya tanah adat dan lahan pertanian, kerusakan ekologis yang mengancam ruang hidup, serta praktik kriminalisasi terhadap warga yang berani menolak proyek,” ungkapnya.
Dalam persidangan, perwakilan pemerintah yang berasal dari Kemenko Perekonomian, Kementerian ATR/BPN, serta Kementerian Hukum dan HAM hanya menyampaikan permohonan penundaan sidang dengan alasan belum menyelesaikan penyusunan jawaban. Sementara itu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak mengirimkan perwakilan sama sekali.
Edy, yang juga bertindak sebagai pendamping warga terdampak, mengungkapkan kekecewaannya atas keputusan majelis hakim yang menunda sidang hingga 25 Agustus 2025. “Warga terdampak yang telah datang jauh-jauh ke Jakarta justru tidak diberi kesempatan untuk menyuarakan pendapatnya di hadapan Majelis Hakim,” sesalnya.
Oleh karena itu, Edy berharap MK dapat memberikan putusan yang mempertimbangkan aspek hak asasi manusia, keadilan ekologis, serta perlindungan ruang hidup warga. “Geram PSN menegaskan bahwa perjuangan warga untuk mendapatkan keadilan tidak boleh dibiarkan melemah oleh sikap abai para pengambil kebijakan,” pungkasnya.
Pilihan Editor: Para Korban Proyek Strategis Nasional Menggugat UU Cipta Kerja
Ringkasan
Sidang lanjutan uji materi UU Cipta Kerja di Mahkamah Konstitusi (MK) menyoroti dampak Proyek Strategis Nasional (PSN) terhadap HAM dan lingkungan. Gugatan diajukan atas kekhawatiran kerancuan hukum, pembajakan regulasi, dan pelanggaran HAM yang semakin marak dalam PSN. Sidang menghadirkan korban PSN dari berbagai daerah yang bersaksi tentang penggusuran, perampasan lahan, dan kerusakan lingkungan.
Perwakilan pemerintah meminta penundaan sidang, sementara DPR tidak hadir. Pemohon judicial review, Geram PSN, menyayangkan penundaan tersebut dan berharap MK mempertimbangkan aspek HAM, keadilan ekologis, dan perlindungan ruang hidup warga dalam putusannya. UU Cipta Kerja dipandang memberikan kemudahan bagi PSN, namun berimplikasi pada penyalahgunaan konsep “kepentingan umum” yang merugikan masyarakat.