Sponsored

Himbara Banjir Likuiditas: Rekomendasi Saham Bank Terbaik Saat Ini

Hikma Lia

BANYU POS JAKARTA. Kucuran dana Rp 200 triliun dari Menteri Keuangan menjadi pedang bermata dua bagi saham sektor perbankan, khususnya emiten bank Danantara. Dana segar ini diharapkan menjadi stimulus, namun potensi risikonya juga perlu dicermati.

Sponsored

Untuk memperkuat likuiditas, Menteri Keuangan telah menerbitkan KMK No. 276/2025 yang mengatur penempatan dana negara pada bank BUMN tertentu. Kebijakan ini bertujuan mendorong pertumbuhan kredit produktif.

Dana tersebut ditempatkan dalam bentuk On Call Deposit dengan bunga 3,8%, atau sekitar 80% dari suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) yang saat itu berada di angka 4,75%. Tenor yang diberikan adalah enam bulan dan dapat diperpanjang.

Adapun alokasi dana jumbo ini adalah sebagai berikut: PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), PT Bank Mandiri Tbk (BMRI), dan PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) masing-masing mendapatkan Rp 55 triliun. Sementara itu, PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN) menerima Rp 25 triliun, dan PT Bank Syariah Indonesia (BRIS) sejumlah Rp 10 triliun.

Kinerja Saham Big Banks Jumat (19/9): BBCA Menguat, BBNI Melemah

Pemerintah secara tegas menginstruksikan agar dana tersebut disalurkan dalam bentuk kredit dan tidak digunakan untuk membeli obligasi atau Surat Berharga Negara (SBN). Tujuannya adalah untuk memperkuat upaya bank emiten Danantara dalam mendorong pertumbuhan kredit produktif.

Namun, Head of Research Samuel Sekuritas Indonesia, Prasetya Gunadi, mengingatkan bahwa kebijakan ini bukannya tanpa risiko. Efektivitas penyaluran dana Rp 200 triliun ini sangat bergantung pada kualitas penyaluran kredit dan distribusinya ke sektor-sektor prioritas, terutama UMKM, seperti yang tertulis dalam risetnya pada Jumat, (19/9/2025).

Prasetya juga menyoroti bahwa dengan tenor yang hanya enam bulan (walaupun dapat diperpanjang) dan permintaan kredit yang masih lemah dari korporasi maupun rumah tangga, ekspansi kredit jangka pendek kemungkinan akan tetap terbatas. Lebih lanjut, jika penyaluran kredit terhambat, bank justru akan menanggung beban bunga yang lebih tinggi dari penempatan deposito ini, yang berpotensi menekan Net Interest Margin (NIM).

Selain itu, jika bank didorong untuk menyalurkan kredit secara agresif, terutama ke UMKM yang momentum pertumbuhannya masih lambat, risiko penurunan kualitas aset bisa meningkat. Hal ini, menurut Prasetya, dapat berujung pada kenaikan NPL (Non-Performing Loan) dan penurunan margin dalam jangka panjang.

Analis Kiwoom Sekuritas Indonesia, Miftahul Khaer, juga berpendapat bahwa tambahan dana ini harus dikelola dengan hati-hati. “Dorongan agresif tanpa diimbangi kualitas debitur berpotensi meningkatkan risiko aset bermasalah,” jelas Miftahul kepada Kontan, Jumat (19/9/2025).

Rekomendasi Saham BMRI Usai Memaparkan Kinerja Semester I 2025

Senada dengan pandangan tersebut, Analis BRI Danareksa Sekuritas, Victor Stefano, dalam risetnya pada 15 September 2025, menilai bahwa risiko terhadap NIM dan kualitas aset dapat meningkat, terutama jika pertumbuhan ekonomi tetap stagnan setelah stimulus ini diberikan. Ia juga menyoroti larangan pembelian SBN dari dana kucuran tersebut sebagai hal yang perlu diperhatikan.

Menurut Victor, implementasi larangan pembelian SBN tidak akan mudah. Tambahan likuiditas memungkinkan bank tetap menyalurkan kredit baru, sementara dana yang semula dialokasikan untuk kredit jatuh tempo dapat dialihkan ke SBN.

Pemerintah mungkin saja menetapkan target pertumbuhan kredit tertentu bagi bank. Namun, Victor melihat bahwa jika penyaluran kredit dipacu terlalu cepat, bank perlu meningkatkan *risk appetite*, yang pada akhirnya meningkatkan risiko penurunan kualitas aset.

“Dalam hal ini, NIM juga berpotensi mengalami penurunan tipis, kecuali untuk BBTN yang memiliki biaya dana (*Cost of Fund*/CoF) lebih tinggi dari 4%,” terangnya.

Di sisi lain, kebijakan ini dapat memberikan dampak positif pada CoF jika tidak ada kewajiban mencapai target kredit. Dalam skenario ini, analisis Victor menunjukkan bahwa CoF dapat turun 1–13 basis poin (bps), dengan BBTN menjadi pihak yang paling diuntungkan, mengingat suku bunga deposito berjangka BBTN yang relatif tinggi.

Lebih jauh lagi, jika bank mengganti deposito mahal (misalnya, di level 6,5%) dengan dana ini, CoF dapat turun sebesar 8–16 bps. Dalam hal ini, Victor mencatat bahwa BBNI dan BBTN berpotensi menjadi penerima manfaat terbesar karena porsi dana negara yang signifikan dibandingkan dengan total deposito mereka.

Senada, menurut Prasetya, manfaat terbesar akan dirasakan oleh bank yang bergantung pada deposito berjangka mahal, seperti BBNI, BBRI, dan BBTN. Penempatan likuiditas ini memungkinkan *repricing* deposito yang lebih efisien. Meskipun demikian, Prasetya menilai bahwa secara keseluruhan, CoF masih bisa naik sekitar 3 bps.

Usai Paparan Kinerja, Bagaimana Arah Pergerakan Saham Bank Mandiri (BMRI)?

Adapun secara sektoral, Prasetya memperkirakan bahwa *Loan to Deposit Ratio* (LDR) akan membaik sekitar 420 bps menjadi rata-rata 92,6%. “Sehingga, hal ini dapat memberikan ruang tambahan dalam neraca untuk pertumbuhan kredit,” imbuhnya.

Sementara itu, menurut Miftahul, BBRI dan BMRI menjadi yang paling prospektif, didukung oleh profil likuiditas dan kualitas asetnya yang relatif lebih terjaga. “Sedangkan BBTN perlu lebih *aware*, mengingat fokus bisnisnya di KPR yang sensitif terhadap fluktuasi suku bunga,” katanya.

Katalis Suku Bunga Acuan

Miftahul melanjutkan, pemangkasan suku bunga acuan BI ke level 4,75% pada hasil RDG BI 16–17 September lalu juga menjadi sentimen positif lainnya bagi emiten bank. “Penurunan suku bunga berpotensi mendorong CoF yang lebih ringan ke depannya,” lanjutnya.

Prasetya menambahkan bahwa pemangkasan suku bunga BI sebesar 50 bps dalam sebulan terakhir menjadi katalis jangka pendek–menengah bagi pertumbuhan kredit, terutama pada segmen korporasi dan UMKM, karena penurunan bunga pinjaman dapat memicu permintaan *refinancing*.

Memandang risiko pada NIM dan kualitas aset yang masih signifikan, Prasetya menyatakan bahwa pihaknya hanya menaikkan rating sektor bank ke Netral dari Underweight. Dalam sektor ini, ia menjagokan PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), didukung oleh biaya kredit atau *Cost of Credit* (CoC) yang rendah di level 0,5%. Prasetya menyarankan untuk membeli BBCA dengan target harga Rp 9.600 per saham, serta membeli BBRI dengan target harga Rp 5.000 per saham.

Victor juga memberikan peringkat Netral untuk sektor ini dan merekomendasikan untuk membeli BBCA sebagai pilihan utama, dengan target harga Rp 11.900 per saham. Ia juga menyarankan untuk membeli BMRI dengan target harga Rp 5.900 per saham.

Sementara itu, Miftahul merekomendasikan *accumulate buy* BBRI dan BMRI dengan target harga masing-masing Rp 4.720 dan Rp 6.300 per saham.

“Investor patut memantau arah kebijakan moneter lanjutan, kualitas pertumbuhan kredit, serta tren dana pihak ketiga di tengah persaingan ketat perbankan,” pungkas Miftahul.

Ringkasan

Pemerintah mengucurkan dana Rp 200 triliun ke bank Himbara melalui KMK No. 276/2025 untuk mendorong pertumbuhan kredit produktif. Dana tersebut ditempatkan dalam bentuk On Call Deposit dengan bunga 3,8% dan tenor enam bulan. Alokasi terbesar diberikan kepada BBRI, BMRI, dan BBNI masing-masing Rp 55 triliun, sementara BBTN dan BRIS menerima Rp 25 triliun dan Rp 10 triliun.

Penyaluran dana ini memiliki potensi risiko, terutama terkait kualitas kredit dan dampaknya pada Net Interest Margin (NIM). Analis merekomendasikan BBCA dan BBRI sebagai pilihan yang prospektif karena likuiditas dan kualitas asetnya yang terjaga. Pemangkasan suku bunga acuan BI juga menjadi sentimen positif yang dapat mendorong penurunan Cost of Fund (CoF).

Sponsored

Also Read

Tags