Transformasi menuju ekonomi hijau bukan lagi pilihan, melainkan sebuah keniscayaan bagi Indonesia untuk menggapai target net zero emission pada 2060, atau bahkan lebih cepat. Namun, keberhasilan ambisius dalam transisi energi dan investasi hijau ini tidak semata bergantung pada kemajuan teknologi atau kucuran modal. Fondasi utamanya terletak pada kesiapan sumber daya manusia (SDM) yang mumpuni.
Menteri Ketenagakerjaan, Yassierli, secara lugas menggarisbawahi bahwa pembangunan kapasitas tenaga kerja menjadi elemen krusial agar transisi menuju ekonomi hijau dapat berjalan secara adil dan inklusif. “Transisi ini hanya akan berhasil jika masyarakat kita siap,” tegasnya dalam perhelatan akbar Indonesia International Sustainability Forum (ISF) 2025, di Jakarta, pada Jumat (11/10).
Menyadari urgensi tersebut, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) telah menetapkan target ambisius: meningkatkan keterampilan (upskilling) dan mengembangkan ulang keterampilan (reskilling) bagi setidaknya 1,1 juta individu per tahun hingga 2029. Langkah konkret ini diwujudkan melalui revisi standar kompetensi kerja nasional (SKKNI) serta integrasi pelatihan hijau di berbagai Balai Latihan Kerja (BLK) komunitas di seluruh negeri.
Yassierli menekankan bahwa program pelatihan hijau ini dirancang bukan hanya untuk para pekerja baru. “Kami ingin memastikan transisi energi tetap adil bagi semua, termasuk mereka yang sebelumnya bekerja di sektor berbasis fosil,” jelasnya, menunjukkan komitmen terhadap prinsip keadilan dalam transisi.
Prospek pekerjaan hijau di Indonesia sangat menjanjikan. Kementerian ESDM memproyeksikan jumlahnya di sektor energi akan melonjak fantastis menjadi 2,26 juta pada 2029, sebuah peningkatan enam kali lipat dibandingkan tahun 2022. Sekitar 90 persen dari lonjakan ini diperkirakan berasal dari subsektor kelistrikan dan energi terbarukan.
“Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034 secara gamblang menunjukkan bahwa 75 persen pembangkit baru akan bersumber dari energi terbarukan. Ini bukan sebuah ancaman, melainkan peluang besar untuk menciptakan pekerjaan yang lebih baik dan berkualitas,” tutur Yassierli, melihat optimisme di tengah perubahan.
Meskipun potensi besar membentang, Yassierli juga jujur menyoroti empat tantangan utama yang harus dihadapi. Dimulai dari ketidaksesuaian antara kebutuhan industri dan kurikulum vokasi, ketimpangan wilayah dalam akses pelatihan, fasilitas BLK yang belum memadai, hingga rendahnya permintaan industri terhadap pekerja hijau yang kompeten.
Untuk merespons tantangan tersebut, Kemnaker tidak berdiam diri. Mereka menjalin kerja sama strategis dengan organisasi internasional seperti ASEAN Productivity Organization. Kolaborasi ini bertujuan mengembangkan kerangka produktivitas hijau, lengkap dengan dasbor dan kalkulator produktivitas yang dapat diterapkan lintas sektor, guna mengukur dan mendorong efisiensi.
Indonesia, menurut Yassierli, tengah berada di fase krusial dalam transisi hijau. Lima tahun ke depan akan menjadi periode penentu, di mana permintaan tenaga kerja berkompetensi hijau diprediksi akan melonjak tajam, terutama di sektor energi terbarukan yang terus berkembang pesat.
Transformasi menuju ekonomi berkelanjutan memang membutuhkan waktu, investasi, dan sinergi lintas sektor yang kuat. Namun, dengan SDM yang terampil dan ekosistem yang inklusif, Indonesia memiliki kesempatan emas untuk menempatkan diri sebagai pemain utama dalam ekonomi hijau global. “Kami membuka seluas-luasnya kolaborasi dengan industri, universitas, dan organisasi internasional untuk membangun tenaga kerja masa depan yang siap menyambut era ekonomi hijau ini,” ajaknya penuh semangat.
Dari perspektif dunia usaha, Shinta W. Kamdani, CEO Sintesa Group sekaligus Wakil Ketua Umum Koordinator Bidang Pembangunan Manusia, Kebudayaan dan Pembangunan Berkelanjutan Kadin Indonesia, menyoroti pentingnya sebuah peta jalan sektor industri yang komprehensif untuk transformasi hijau. “Kami berkolaborasi dengan Bappenas melalui Skill Hub Accelerator dan kini sedang mengembangkan Green Workforce Accelerator untuk secara presisi memetakan kebutuhan industri terhadap tenaga kerja berkompetensi hijau,” jelas Shinta.
Menurut Shinta, sektor energi, manufaktur, dan pertanian menjadi prioritas utama dalam upaya transisi ini. Ia menegaskan, “Kurikulum pelatihan harus disusun bersama sektor swasta. Pemerintah juga perlu memberikan insentif yang memadai agar perusahaan termotivasi mempercepat transisi tenaga kerja menuju green jobs.”
Lebih lanjut, Shinta menggarisbawahi peran vital UMKM. Mereka tidak hanya harus menjadi bagian integral dari rantai pasok hijau, tetapi juga berpeluang besar untuk mengupayakan dekarbonisasi proses produksi sekaligus menjadi pencipta lapangan kerja baru yang berkelanjutan.
Pada tataran perencanaan nasional, Bappenas bergerak aktif menyusun peta jalan pekerjaan hijau yang lebih terkoordinasi dan berorientasi pada aksi nyata. “Kami ingin memastikan kolaborasi lintas pemangku kepentingan ini dapat secara efektif diterjemahkan menjadi peningkatan daya saing tenaga kerja kita,” ujar Maliki, Sekretaris Deputi Bidang Pemberdayaan Masyarakat, Kependudukan, dan Ketenagakerjaan Bappenas.
Maliki menambahkan, Bappenas akan meluncurkan serangkaian dialog dan analisis pekerjaan untuk menyelaraskan secara optimal antara kebutuhan industri dengan kapasitas tenaga kerja. “Kami juga tengah menyiapkan model percontohan (pilot project) yang potensial untuk diperluas implementasinya secara nasional,” pungkasnya.
Dukungan global terhadap inisiatif Indonesia turut mengalir dari World Economic Forum (WEF). Tarini Fernando, perwakilan Center for the New Economy and Society, memuji Indonesia sebagai salah satu negara pionir yang secara serius berfokus pada equitable transition, atau transisi hijau yang adil dan setara.
“Program Accelerator ini dirancang untuk memastikan adanya pipeline talenta berkompetensi hijau yang kuat, memperluas akses partisipasi bagi perempuan dan penyandang disabilitas, sekaligus meminimalkan risiko sosial dari transisi hijau,” papar Tarini, menguraikan tujuan inklusif dari inisiatif tersebut.
Di kesempatan yang sama, Ketua Umum Kadin Indonesia Anindya Bakrie menegaskan betapa krusialnya sinergi antara pemerintah dan sektor swasta. “Ketika kita berbicara tentang pertumbuhan ekonomi, 85 persen di antaranya berasal dari sektor bisnis, termasuk UMKM. Oleh karena itu, pertumbuhan hijau harus inklusif,” ujarnya, menyoroti peran sentral dunia usaha.
Anindya mencontohkan inisiatif pemerintah melalui program makan bergizi gratis (MBG) yang rencananya membutuhkan 30 ribu dapur di seluruh Indonesia untuk melayani 80 juta penerima manfaat. “Program semacam ini membuka peluang kerja besar di rantai pasok, dan kita wajib memastikan sejak awal prosesnya sudah rendah karbon,” imbuhnya, menunjukkan bagaimana inisiatif sosial dapat selaras dengan prinsip keberlanjutan.
Sebagai informasi, Indonesia International Sustainability Forum (ISF) adalah forum tahunan yang sejak 2023 telah menjadi wadah kolaborasi vital. Tujuannya adalah mendorong investasi, inovasi, dan aksi nyata menuju pembangunan berkelanjutan di Indonesia dan global.
Sejak pertama kali diselenggarakan, ISF telah mencatatkan capaian signifikan. Di antaranya adalah kehadiran lebih dari 11.000 peserta dari 53 negara, fasilitasi 12 nota kesepahaman di sektor transisi energi dan dekarbonisasi, serta berhasil menghubungkan berbagai proyek strategis dengan sumber pembiayaan baru yang krusial.
Menatap 2025, ISF kembali diposisikan sebagai ajang utama yang mempertemukan para pemimpin global, inovator, dan pembuat kebijakan. Tujuannya adalah untuk mengakselerasi pertumbuhan berkelanjutan demi kesejahteraan umat manusia dan kelestarian planet Bumi.