Sponsored

UMR Bisa Beli Rumah? Ini Strategi Jitu dan Tipsnya!

Hikma Lia

BANYU POS – Data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2025 menunjukkan realitas yang cukup menantang: rata-rata gaji masyarakat Indonesia berada di angka Rp3.094.818 per bulan. Angka ini bahkan masih di bawah Upah Minimum Nasional (UMN) yang ditetapkan sebesar Rp3.315.761. Sementara itu, potret UMP (Upah Minimum Provinsi) menunjukkan disparitas yang signifikan, dengan DKI Jakarta mencatatkan UMP tertinggi sebesar Rp5.396.761 dan Jawa Tengah dengan UMP terendah, yaitu Rp2.169.349.

Sponsored

Lantas, dengan kondisi demikian, mungkinkah masyarakat bisa mencicil atau membeli rumah? Jawabannya tentu kompleks. Dalam perhitungan KPR (Kredit Pemilikan Rumah), idealnya cicilan bulanan tidak melebihi 30% dari total penghasilan. Artinya, seorang pekerja dengan gaji Rp5 jutaan hanya mampu mengalokasikan maksimal Rp1,5 juta untuk angsuran rumah.

Setelah dikurangi cicilan KPR sebesar Rp1,5 juta, sisa penghasilan yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari adalah Rp3,5 juta. Namun, berdasarkan survei BPS tahun 2022, biaya hidup di Jakarta mencapai sekitar Rp14,88 juta per bulan untuk sebuah rumah tangga yang terdiri dari dua hingga enam orang. Sebuah jurang yang cukup lebar, bukan?

Kesenjangan antara pendapatan dan pengeluaran ini tentu semakin terasa berat bagi mereka yang sudah berkeluarga dan memiliki anak. Penghasilan yang tidak menentu membuat impian memiliki rumah sendiri terasa semakin jauh dari jangkauan. Lalu, adakah solusi yang bisa ditawarkan?

Data Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) BPS tahun 2023 mencatat angka backlog kepemilikan rumah yang mencapai 9,9 juta unit. Di sisi lain, terdapat pula 26,9 juta unit rumah yang tidak layak huni. Dalam konteks ini, Program 3 Juta Rumah hadir sebagai angin segar, dengan harapan dapat menciptakan keadilan sosial yang lebih merata, terutama bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).

Melalui program ini, MBR berkesempatan untuk membeli rumah tapak bersubsidi melalui skema Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP). Keunggulan yang ditawarkan antara lain suku bunga rendah (maksimal flat 5%), uang muka yang terjangkau, dan tenor cicilan yang panjang, hingga 20 tahun.

Besaran pembiayaan rumah subsidi yang disediakan melalui KPR FLPP bervariasi, maksimal Rp166 juta untuk wilayah Jawa (kecuali Jabodetabek dan Sumatera), Rp173 juta untuk Sulawesi, Rp182 juta untuk Kalimantan, Rp185 juta untuk Jabodetabek, Maluku, Bali, dan Nusa Tenggara, serta Rp240 juta untuk Papua dan Papua Barat.

Hingga September 2025, realisasi penyaluran KPR FLPP telah melampaui 50% dari target kuota 350.000 unit. Data Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa per September 2025, penyaluran rumah subsidi melalui FLPP telah mencapai 192.700 unit dengan nilai Rp24,8 triliun, tersebar di 11.488 perumahan di 33 provinsi serta 394 kabupaten/kota.

Tantangan Rumah Subsidi

Pemerintah memang tengah berupaya keras untuk merealisasikan program 3 juta rumah, termasuk dengan menyiapkan anggaran Rp130 triliun untuk program Kredit Usaha Rakyat (KUR) perumahan. Namun, muncul pertanyaan krusial: apakah program ini benar-benar menjadi solusi efektif bagi MBR untuk memiliki rumah?

Selain dari segi harga yang lebih terjangkau, perbedaan mendasar antara rumah subsidi dan komersial terletak pada fasilitas dan lokasinya. Rumah subsidi umumnya menawarkan fasilitas standar dan berlokasi relatif jauh dari pusat kota. Fasilitas umum seperti taman, jalan perumahan, dan sistem keamanan juga cenderung lebih sederhana.

Luas rumah tapak dalam program FLPP dibatasi maksimal 36 m2, sementara rumah swadaya (yang dibangun di atas tanah milik sendiri) maksimal 48 m2. Untuk rusunami atau apartemen subsidi, harga jual maksimal ditetapkan Rp250 juta dengan luas unit berkisar antara 21—36 m2.

Meskipun harganya terjangkau, sebagian masyarakat masih enggan memilih rumah subsidi karena luas bangunan yang kecil dan lokasinya yang kurang strategis. Jarak yang jauh dari pusat kota berpotensi meningkatkan biaya transportasi secara signifikan, yang pada akhirnya akan menggerus pendapatan yang sudah terbatas. Akibatnya, banyak MBR lebih memilih untuk tinggal di kos atau menyewa hunian komersial yang lebih dekat dengan tempat kerja.

Wacana Perbaikan

Menanggapi respons masyarakat terkait fasilitas dan kualitas rumah subsidi, pemerintah berencana untuk memperluas luasan rumah subsidi vertikal, seperti apartemen dan rumah susun. Rencananya, luas unit akan ditingkatkan menjadi 45 m2.

Hal ini disampaikan oleh Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa saat mengunjungi Kantor Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) di Jakarta, pada Selasa (14/10/2025). Menurutnya, luas rumah 45 m2 dinilai lebih layak dan manusiawi untuk dihuni oleh sebuah keluarga.

Kriteria masyarakat yang memenuhi syarat untuk membeli rumah subsidi juga mengalami perluasan. Melalui Peraturan Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (Permen PKP) No. 5 Tahun 2025, pemerintah menaikkan batas penghasilan MBR, yang dibagi berdasarkan empat zona wilayah.

Dalam aturan terbaru ini, batas penghasilan tertinggi diberlakukan untuk warga Jabodetabek, yaitu maksimal Rp12 juta untuk pekerja lajang dan Rp14 juta untuk pasangan menikah. Sebelumnya, batas maksimal penghasilan adalah Rp7 juta per bulan untuk lajang dan Rp8 juta per bulan untuk yang sudah menikah.

Pembaharuan batas penghasilan ini memberikan kesempatan bagi masyarakat dengan penghasilan menengah untuk mengakses tempat tinggal yang layak. Dengan uang muka yang ringan dan tenor yang panjang, angsuran rumah menjadi lebih terjangkau. Selain itu, program ini juga membebaskan PPN pembelian rumah, sehingga semakin meringankan beban biaya yang harus ditanggung.

Harapan Besar Masyarakat

Program 3 juta rumah menjadi harapan baru bagi MBR atau mereka yang bergaji UMR untuk mendapatkan hunian layak sesuai dengan kebutuhan mereka. Namun, di sisi lain, MBR juga perlu memiliki pemahaman yang baik tentang cara mengelola keuangan dengan bijak, agar dapat memenuhi kebutuhan hidup lainnya selain angsuran rumah.

Jika memungkinkan, mencari penghasilan tambahan dapat menjadi solusi untuk meningkatkan fleksibilitas dalam mengalokasikan dana untuk tabungan. Peluang usaha dengan modal minim seperti menjadi afiliator atau menjalankan referral marketing bisa menjadi pilihan. Selain itu, penting juga untuk mengurangi pengeluaran non-esensial, seperti self reward yang berlebihan atau belanja konsumtif lainnya.

Membuat tabungan khusus yang terpisah dari rekening gaji juga sangat disarankan, agar dana tersebut tidak tercampur dengan pos pengeluaran lainnya. Melakukan transfer otomatis sebagian gaji di awal bulan ke tabungan tersebut akan membantu mempercepat pencapaian target. Dengan kedisiplinan dan tekad yang kuat, impian memiliki rumah sendiri bukanlah hal yang mustahil untuk diwujudkan.

Ingin tahu solusi lain untuk mendapatkan hunian layak bagi mereka yang bergaji UMR? Jangan lewatkan episode 2 podcast Ruang Ratih dari Semen Merah Putih yang akan tayang pada 29 Oktober 2025 di Youtube Channel Semen Merah Putih.

Ringkasan

Artikel ini membahas tentang kemungkinan masyarakat dengan UMR (Upah Minimum Regional) untuk membeli rumah di Indonesia, mengingat disparitas gaji dan tingginya biaya hidup. Program 3 Juta Rumah pemerintah, khususnya melalui skema FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan), menawarkan solusi dengan suku bunga rendah, uang muka terjangkau, dan tenor panjang. Program ini menyasar Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) dengan memberikan subsidi untuk pembelian rumah tapak atau rusunami.

Namun, terdapat tantangan seperti lokasi rumah subsidi yang seringkali kurang strategis dan luas bangunan yang terbatas. Pemerintah berupaya mengatasi hal ini dengan memperluas luasan rumah subsidi vertikal dan menaikkan batas penghasilan MBR yang memenuhi syarat. Selain itu, masyarakat juga perlu mengelola keuangan dengan bijak, mencari penghasilan tambahan, dan mengurangi pengeluaran non-esensial agar mampu mencicil rumah dan memenuhi kebutuhan hidup lainnya.

Sponsored

Also Read

Tags