FENOMENA “Rojali” (rombongan jarang beli) dan “Rohana” (rombongan hanya nanya) menjadi perbincangan hangat di media sosial, mencerminkan perubahan perilaku konsumen di pusat perbelanjaan. Istilah jenaka ini, meskipun terdengar ringan, mengisyaratkan kondisi ekonomi masyarakat Indonesia yang tengah menghadapi tantangan. Lantas, apa sebenarnya dampak fenomena ini bagi industri ritel dan ekonomi secara luas?
Listya Endang Artiani, seorang dosen dan peneliti dari Universitas Islam Indonesia (UII), menjelaskan bahwa Rojali dan Rohana bukan sekadar guyonan. Lebih dari itu, keduanya merupakan representasi dari transformasi gaya hidup kelas menengah perkotaan. Mal, menurutnya, telah bertransformasi menjadi ruang konsumsi yang sarat akan makna emosional, simbolik, bahkan politis.
“Mal saat ini bukan lagi sekadar tempat berbelanja. Ia telah menjadi ruang sosial-ekonomi multifungsi,” ungkap Listya dalam keterangan tertulis. “Orang datang ke mal tidak hanya untuk membeli barang, tetapi juga untuk ‘membeli’ suasana, membangun citra diri, dan merasakan modernitas.”
Dampak Fenomena Rojali dan Rohana terhadap Ekonomi Mal dan Strategi Ritel
Kehadiran Rojali dan Rohana, yang seringkali datang tanpa niat membeli, kerap dianggap sebagai beban bagi pelaku bisnis ritel. Mereka dianggap tidak berkontribusi pada peningkatan omzet, bahkan hanya “memenuhi bangku kosong dan mendinginkan ruangan”.
Namun, Listya berpendapat bahwa pandangan tersebut terlalu sederhana. Dalam era *experience economy* dan ekonomi atensi, kehadiran fisik dan interaksi sosial juga memiliki nilai ekonomis tersendiri. Rojali dan Rohana, meskipun tidak berbelanja, tetap memberikan kontribusi melalui waktu, perhatian, dan bahkan konten media sosial yang mereka hasilkan.
“Mal yang ramai, meskipun dipenuhi oleh pengunjung yang hanya berjalan-jalan, menciptakan ilusi ‘kesuksesan sosial’,” jelas Listya. “Hal ini kemudian membentuk ekspektasi positif bagi pengunjung lainnya.” Fenomena ini sejalan dengan prinsip *network externalities* dalam teori ekonomi digital, di mana nilai suatu layanan meningkat seiring dengan bertambahnya partisipan. Efek *bandwagon effect* dalam *behavioral economics* juga berperan, di mana keputusan individu dipengaruhi oleh perilaku kolektif.
Namun, tantangan bagi pelaku ritel tetap nyata. Metrik konvensional seperti *conversion rate*, *average basket size*, dan *sales per square meter* masih menjadi tolok ukur utama kinerja toko. Ketika jumlah pengunjung meningkat tetapi tingkat transaksi stagnan, muncul *retail paradox*: keramaian tanpa profit. Hal ini tentu menekan *return on investment* (ROI) bagi *tenant*, terutama mengingat biaya sewa dan operasional yang tinggi di pusat perbelanjaan modern.
Untuk menyiasati hal ini, banyak pelaku ritel yang mengadopsi pendekatan *retailtainment*, yaitu penggabungan antara ritel dan hiburan. Tujuannya adalah untuk menciptakan nilai tambah yang berfokus pada pengalaman dan emosi, bukan hanya transaksi.
“Mal tidak lagi hanya menjual barang, tetapi menjual suasana, cerita, dan citra diri,” tegas Listya. Fenomena ini sejalan dengan gagasan Joseph Pine dan James Gilmore (1998) dalam buku *The Experience Economy*, yang menyatakan bahwa pengalaman personal yang bermakna adalah tingkatan nilai ekonomi tertinggi.
Implementasi dari transformasi ini dapat dilihat dari perubahan format toko. Toko buku bertransformasi menjadi ruang komunitas, gerai kopi menjadi galeri mikro, dan *fashion store* menyediakan ruang *selfie* dan *event pop-up*. Beberapa pusat perbelanjaan bahkan menambahkan elemen *co-working space*, *urban garden*, atau area bermain interaktif sebagai strategi *place-making* yang lebih partisipatif.
Namun, transformasi ini juga memunculkan ironi. Di balik narasi inklusivitas dan pengalaman, preferensi terhadap konsumen “Robeli” (rombongan benar-benar beli) dengan daya beli tinggi tetap kuat. Logika pasar tetap mendorong seleksi berdasarkan kontribusi ekonomi langsung. Akibatnya, UMKM dan *tenant* lokal yang tidak mampu bersaing dalam model ekonomi berbasis volume dan margin tinggi berisiko terpinggirkan, memperkuat ketimpangan struktural dalam ekosistem konsumsi.
Oleh karena itu, Listya menekankan perlunya inovasi kebijakan dalam manajemen mal dan tata kelola ritel. Penerapan prinsip *inclusive economy*, yang menekankan distribusi nilai dan akses ekonomi yang lebih merata, menjadi relevan. Pengelola mal dapat merancang skema sewa berbasis performa sosial, memberikan insentif bagi *tenant* komunitas, atau mengalokasikan zona “non-komersial” untuk interaksi warga tanpa tekanan konsumsi. Model ini tidak hanya berkelanjutan secara sosial, tetapi juga memperluas makna *value proposition* mal sebagai institusi urban yang adaptif dan relevan di tengah krisis ekonomi dan perubahan budaya belanja.
“Kehadiran Rojali dan Rohana adalah cermin bagi industri ritel,” pungkas Listya. “Mereka memaksa kita untuk bertanya: untuk siapa ruang-ruang konsumsi ini diciptakan, dan nilai apa yang sebetulnya sedang dijual? Pertanyaan ini tidak hanya bersifat ekonomis, tetapi juga etis, dan jawabannya akan menentukan arah masa depan ritel dan ruang publik kita.”
Pilihan Editor: Dosen UII Soroti Makna Sosial Fenomena Rojali, Rohana, dan Robeli
Ringkasan
Artikel ini membahas fenomena “Rojali” (rombongan jarang beli) dan “Rohana” (rombongan hanya nanya) yang mencerminkan perubahan perilaku konsumen di mal. Mal kini bukan hanya tempat berbelanja, tetapi juga ruang sosial-ekonomi multifungsi yang menawarkan pengalaman dan citra diri. Kehadiran Rojali dan Rohana, meskipun tidak selalu berkontribusi langsung pada penjualan, tetap memiliki nilai ekonomis dalam era experience economy.
Pelaku ritel perlu mengadopsi pendekatan retailtainment dengan menggabungkan ritel dan hiburan untuk menciptakan nilai tambah. Namun, preferensi terhadap konsumen dengan daya beli tinggi tetap kuat, berpotensi meminggirkan UMKM dan tenant lokal. Inovasi kebijakan dalam manajemen mal, seperti skema sewa berbasis performa sosial, diperlukan untuk menciptakan ekosistem konsumsi yang lebih inklusif dan berkelanjutan.