Indonesia berada di ambang risiko besar deindustrialisasi dini dan potensi serbuan produk impor, menyusul kesepakatan tarif resiprokal dengan Amerika Serikat. Peringatan keras ini digaungkan oleh sejumlah pakar dalam seminar Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, bertajuk “Menakar Daya Saing Indonesia di Era Tarif Baru: Standardisasi dan Pemastian dalam Perdagangan Global” pada Rabu, 20 Agustus 2025. Para peneliti CORE Indonesia menyoroti potensi dampak jangka panjang kebijakan ini terhadap industri domestik.
Peneliti CORE, Eliza Mardian, menggarisbawahi kekhawatiran serius. “Jika kita memberikan konsesi ini secara eksklusif kepada AS, tentu negara-negara mitra dagang lain bisa melakukan hal yang sama, menuntut kepada kita,” jelasnya. Lebih lanjut, Eliza memaparkan bahwa kebijakan ini berpotensi memicu efek domino yang pada akhirnya dapat meniadakan hambatan non-tarif secara universal. Dampaknya? “Jika ini terus berlanjut, maka kita akan dibanjiri oleh produk-produk impor, dan juga ini akan mempercepat deindustrialisasi dini di Indonesia, serta bahkan bisa meningkatkan defisit perdagangan hingga miliaran dolar,” tegas Eliza.
Senada, Peneliti CORE Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menambahkan perspektif kritis. Ia menyoroti bahwa kesepakatan antara Indonesia dan Amerika Serikat, yang meliputi tarif resiprokal 19 persen, pembelian 50 pesawat Boeing senilai US$ 3,5 miliar, serta transaksi produk energi dan pertanian senilai total Rp 368 triliun, justru berpotensi menekan daya saing ekspor nasional. “Pasar ekspor Indonesia di AS akan terhambat, karena tarif yang lebih tinggi ditambah tarif dasar yang juga harus ditanggung,” jelas Yusuf. Ia merinci, sejumlah produk ekspor andalan Indonesia seperti alas kaki, mesin, pakaian, lemak dan minyak nabati, serta karet beserta turunannya, kini berpotensi menghadapi tekanan signifikan akibat kebijakan tarif resiprokal ini.
Ancaman tidak hanya datang dari sisi ekspor, melainkan juga dari serbuan produk impor. Yusuf mengingatkan bahwa Tiongkok kini tengah melakukan reorientasi pasar besar-besaran ke kawasan ASEAN, termasuk Indonesia. “Ketika itu terjadi, ini tentu perlu disikapi, perlu dimitigasi, karena beberapa produk yang berpotensi masuk ke Indonesia itu adalah produk-produk yang sama yang diproduksi oleh Indonesia,” ujar Yusuf, mencontohkan seperti mesin serta pakaian dan aksesoris lanjutan.
Sektor yang paling rentan terdampak adalah sektor pertanian. Yusuf menyoroti fakta bahwa pemerintah telah menyepakati penghapusan sejumlah hambatan non-tarif dan membuka pintu bagi impor produk pertanian. “Kalau seandainya tidak ada kebijakan mitigasi, menurut kami, kebijakan tarif resiprokal akan memberikan efek tekanan terhadap produk-produk pertanian di Indonesia,” tegasnya, memperingatkan potensi kerusakan serius bagi petani lokal.
Secara keseluruhan, Yusuf menegaskan bahwa efek kebijakan ini tidak hanya bersifat jangka pendek, melainkan berpotensi menggerus struktur industri dalam negeri secara fundamental. “Industri dalam negeri berpotensi terdampak melalui dua sisi, yaitu penurunan ekspor ke Amerika Serikat, serta serbuan produk impor,” pungkasnya. Mengakhiri seminar, para narasumber serempak mendesak pemerintah untuk segera menyiapkan langkah mitigasi yang komprehensif. Langkah ini mencakup upaya menjaga ketahanan industri manufaktur dan secara signifikan memperkuat proteksi bagi petani. Tanpa strategi yang jelas dan terarah, Indonesia diyakini berisiko kehilangan kedaulatan ekonominya dan tergilas dalam arus deras liberalisasi perdagangan global.
Pilihan Editor: Problem Klaim Tingkat Pengangguran Terendah Prabowo
Ringkasan
Analisis CORE Indonesia menyoroti potensi bahaya deindustrialisasi dini dan serbuan produk impor akibat kesepakatan tarif resiprokal dengan Amerika Serikat. Kebijakan ini dikhawatirkan memicu efek domino yang menghapus hambatan non-tarif, membanjiri Indonesia dengan produk impor, serta meningkatkan defisit perdagangan.
Kesepakatan tarif resiprokal 19% dengan AS berpotensi menekan daya saing ekspor Indonesia dan mengancam sektor pertanian akibat penghapusan hambatan non-tarif dan pembukaan impor produk pertanian. CORE Indonesia mendesak pemerintah untuk segera menyiapkan langkah mitigasi komprehensif untuk menjaga ketahanan industri manufaktur dan melindungi petani.