Sponsored

Pangkas Tunjangan DPR: Tidak Adil? Ini Alasannya

Hikma Lia

Menanggapi gelombang demonstrasi besar-besaran di berbagai wilayah yang menelan korban jiwa, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akhirnya menggagas evaluasi mendalam terhadap gaji dan tunjangan anggota parlemen. Langkah krusial ini diambil sebagai respons atas tuntutan publik yang kian mendesak.

Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, di Senayan, Jakarta, Jumat, 5 September 2025, mengumumkan serangkaian kesepakatan penting yang dicapai dewan. Salah satu poin utamanya adalah penghentian pemberian tunjangan perumahan anggota DPR, yang akan berlaku efektif mulai tanggal 31 Agustus 2025. Kebijakan ini menjadi sinyal awal dari upaya reformasi tunjangan di lembaga legislatif.

Sponsored

Selain penghentian tunjangan perumahan, perbaikan lain yang segera diimplementasikan meliputi moratorium kunjungan kerja ke luar negeri. DPR juga tengah meninjau ulang berbagai komponen tunjangan lainnya, seperti biaya listrik, biaya jasa telepon, biaya komunikasi intensif, dan tunjangan transportasi. Dalam semangat transparansi, Dasco turut melampirkan rincian yang menunjukkan total gaji dan tunjangan DPR mencapai Rp 65,5 juta per bulan, sebuah angka yang kerap menjadi sorotan publik.

Namun, isu gaji anggota dewan tak semata dipandang dari nominalnya. Ekonom dan pakar kebijakan publik dari UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menggarisbawahi bahwa inti persoalan sesungguhnya terletak pada “rasa keadilan dan relevansi kinerja.” Pernyataan ini disampaikan Achmad kepada Tempo pada Sabtu, 6 September 2025, menegaskan bahwa perbaikan harus melampaui sekadar angka.

Achmad Nur Hidayat berpandangan bahwa solusi atas tuntutan masyarakat harus bersifat berlapis dan komprehensif. Prioritas pertama, menurutnya, adalah bagi DPR untuk menetapkan indikator keberhasilan yang jelas dan terukur. Ini mencakup pengesahan RUU prioritas yang nyata, peningkatan kualitas pengawasan anggaran, serta bukti konkret advokasi isu-isu daerah pemilihan (dapil) yang berdampak langsung pada kesejahteraan rakyat, seperti stabilitas harga pangan, kualitas layanan kesehatan, dan ketersediaan peluang kerja.

Di samping itu, transparansi total dalam keterbukaan aset juga dianggap krusial. Achmad menekankan perlunya pelaporan LHKPN yang diaudit secara acak, penelusuran potensi benturan kepentingan, serta publikasi rapor kinerja tahunan setiap anggota dewan kepada publik. Lebih jauh, ia menegaskan bahwa reformasi alokasi tunjangan DPR harus dilakukan agar Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) memprioritaskan kebutuhan yang secara esensial menunjang fungsi representasi dan pengawasan, bukan sekadar keinginan yang bersifat historis atau simbolis belaka.

Achmad juga secara tegas mengkritik beberapa jenis tunjangan yang dinilainya sudah tidak relevan dengan konteks saat ini. “Tunjangan beras dan beberapa fasilitas natura serupa sudah waktunya ditinjau ulang,” ujarnya. Menurutnya, penghasilan pejabat publik di abad ke-21 seharusnya sudah memadai untuk membeli kebutuhan dasar tanpa memerlukan subsidi khusus yang bersifat tradisional.

Demikian pula, sistem pemberian uang sidang atau paket harus dikaitkan secara ketat dengan kinerja yang terukur. Penilaiannya, kata Achmad, harus berbasis pada output rapat, kualitas rekomendasi yang dihasilkan, serta tindak lanjut konkret dari setiap keputusan. Ini bukan lagi soal kehadiran formal semata, melainkan kontribusi substantif.

Rasionalisasi anggaran DPR ini, menurut Achmad, juga sepatutnya menyasar lembaga legislatif di tingkat daerah, yakni DPRD provinsi dan kabupaten/kota. Ia menyoroti fenomena di mana banyak daerah meniru pola tunjangan dari pusat, padahal kapasitas fiskal mereka sangat terbatas dan seringkali jauh dari memadai.

Meskipun demikian, Achmad Nur Hidayat tetap melihat langkah DPR untuk memangkas tunjangan sebagai sinyal awal yang positif. Namun, ia menekankan bahwa kesetaraan dan keadilan anggaran yang sejati hanya akan terwujud melalui disiplin kinerja menyeluruh. Ini mencakup penerapan tunjangan yang rasional, belanja publik yang secara konsisten berpihak pada hasil, serta tata kelola yang sepenuhnya transparan.

Sebagai informasi lebih lanjut, Wakil Ketua DPR Dasco Ahmad sebelumnya telah membagikan dokumen yang merinci gaji dan tunjangan bagi anggota DPR periode 2024-2029. Berdasarkan dokumen resmi yang diterima, berikut adalah rincian lengkap take home pay (THP) atau pendapatan bersih anggota DPR yang menjadi fokus evaluasi ini:

Rincian Gaji Pokok dan Tunjangan Jabatan:

  1. Gaji Pokok: Rp 4.200.000
  2. Tunjangan suami/istri pejabat negara: Rp 420.000
  3. Tunjangan anak pejabat negara: Rp 168.000
  4. Tunjangan jabatan: Rp 9.700.000
  5. Tunjangan beras pejabat negara: Rp 289.680
  6. Uang sidang/paket: Rp 2.000.000

Total keseluruhan gaji dan tunjangan yang melekat pada jabatan adalah Rp 16.777.680.

Rincian Tunjangan Konstitusional:

  1. Biaya peningkatan komunikasi intensif dengan masyarakat: Rp 20.033.000
  2. Tunjangan kehormatan anggota DPR RI: Rp 7.187.000
  3. Peningkatan fungsi pengawasan dan anggaran sebagai pelaksanaan konstitusional dewan: Rp 4.830.000
  4. Honorarium kegiatan peningkatan fungsi dewan:
    1. fungsi legislasi: Rp 8.461.000
    2. fungsi pengawasan: Rp 8.461.000
    3. fungsi anggaran: Rp 8.461.000

Adapun total tunjangan konstitusional yang diterima mencapai Rp 57.433.000.

Dian Rahma Fika berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Pilihan Editor: Penghasilan Besar Anggota DPR Tanpa Potongan Pajak

Ringkasan

Menanggapi protes publik, DPR memutuskan untuk memangkas tunjangan anggota, dimulai dengan penghentian tunjangan perumahan efektif 31 Agustus 2025 dan moratorium kunjungan kerja luar negeri. Tinjauan ulang juga dilakukan terhadap berbagai tunjangan lain seperti biaya listrik, telepon, dan transportasi. Total gaji dan tunjangan DPR sebelumnya mencapai Rp 65,5 juta per bulan.

Pakar kebijakan publik, Achmad Nur Hidayat, menekankan perlunya indikator kinerja yang terukur bagi DPR, termasuk pengesahan RUU prioritas dan pengawasan anggaran yang efektif. Transparansi aset, peninjauan ulang tunjangan yang tidak relevan (misalnya, tunjangan beras), dan penghubungan uang sidang dengan kinerja juga dianggap penting. Reformasi ini juga perlu diterapkan pada DPRD provinsi dan kabupaten/kota.

Sponsored

Also Read

Tags