BANYU POS – JAKARTA. Pasar saham Indonesia diperkirakan masih akan menghadapi tantangan di sisa tahun 2025. Sejumlah kebijakan pemerintah dipandang sebagai stimulus, namun juga sekaligus menjadi ujian bagi pasar keuangan domestik.
Pemerintah baru-baru ini mengalokasikan anggaran sebesar Rp 16,23 triliun dalam APBN 2025 untuk delapan stimulus ekonomi yang akan digelontorkan hingga akhir tahun. Inisiatif ini merupakan bagian dari 17 program paket ekonomi tahun 2025-2026 yang bertujuan untuk menjangkau seluruh lapisan masyarakat.
Paket ekonomi 2025 ini terdiri dari delapan program akselerasi yang dijalankan tahun ini, empat program lanjutan dari tahun 2026, serta lima program unggulan pemerintah yang fokus pada penyerapan tenaga kerja.
Dampak Positif Paket Stimulus Ekonomi Terhadap Pasar Saham dan Rekomendasi Analis
Sebelumnya, pemerintah juga telah meluncurkan kebijakan lain yang diharapkan dapat memacu pertumbuhan ekonomi. Kementerian Keuangan menyuntikkan dana sebesar Rp 200 triliun kepada bank-bank Himbara dalam bentuk call on deposit.
Selain itu, Bank Indonesia (BI) telah menurunkan suku bunga sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 4,75% dalam Rapat Dewan Gubernur bulan September 2025. Langkah ini sejalan dengan kebijakan The Fed yang juga memangkas Fed rate sebesar 25 bps menjadi kisaran 4% – 4,25% pada bulan yang sama.
Pemerintah juga memberikan insentif perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah melalui penyaluran KUR sebesar Rp 130 triliun dan program 3 juta rumah. Program makan bergizi gratis (MBG) juga masih terus berjalan, meskipun implementasinya masih menghadapi sejumlah kendala.
Saham Merdeka Gold Resources (EMAS) Melesat Usai IPO, Begini Pandangan Analis
Head of Research & Chief Economist Mirae Asset, Rully Arya Wisnubroto, berpendapat bahwa paket stimulus ekonomi sebesar Rp 16,23 triliun tersebut relatif kecil jika dibandingkan dengan total APBN 2025 yang mencapai sekitar Rp 3.500 triliun. Ia juga menyoroti bahwa penyerapan tenaga kerja biasanya membutuhkan waktu yang cukup lama.
Meskipun demikian, Rully menambahkan, paket stimulus ini dapat berfungsi sebagai shock absorber yang melindungi masyarakat yang paling rentan terhadap dampak ketidakpastian dan perlambatan ekonomi. Namun, dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi domestik diperkirakan belum akan terlalu signifikan.
Menurutnya, langkah yang paling efektif yang dapat dilakukan pemerintah saat ini adalah mempercepat penyerapan sisa belanja anggaran di empat bulan terakhir tahun 2025. Data menunjukkan bahwa realisasi belanja negara per Agustus 2025 baru mencapai Rp 1.960,3 triliun, atau sekitar 55,6% dari pagu APBN 2025.
Kinerja Saham-Saham Berbasis ESG Lesu, Ini Penyebabnya
“Harapannya, percepatan penyerapan belanja pemerintah ini dapat membantu mendongkrak pertumbuhan ekonomi,” ujarnya dalam Media Day Mirae Asset Sekuritas, Selasa (23/9).
Senada dengan itu, Managing Director Research & Digital Production Samuel Sekuritas Indonesia, Harry Su, menilai bahwa keputusan pemerintah untuk meningkatkan APBN 2026 menjadi Rp3.842,7 triliun dari Rp3.500 triliun di tahun 2025 mencerminkan arah kebijakan fiskal yang lebih ekspansif, namun tetap terukur.
Peningkatan belanja negara yang signifikan tersebut akan difokuskan pada delapan agenda prioritas, yaitu ketahanan pangan, ketahanan energi, makan bergizi gratis, pendidikan, kesehatan, pembangunan desa (UMKM), pertahanan semesta, serta akselerasi investasi dan perdagangan. Dari perspektif ekonomi riil, dorongan ini bersifat katalitik.
“APBN ditempatkan bukan sekadar instrumen pembiayaan, melainkan motor penggerak aktivitas ekonomi, sehingga dapat memperluas daya beli masyarakat, menstimulasi sektor riil, serta mendorong investasi swasta melalui multiplier effect,” katanya kepada Kontan, Selasa (23/9).
Dampak ke Bursa
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada Selasa (23/9/2025) ditutup pada level 8.125, naik 1,06%. Secara year-to-date (YTD), IHSG telah mencatatkan kenaikan sebesar 14,76%.
Data dari BEI menunjukkan bahwa aliran dana asing pada hari Selasa tercatat masuk sebesar Rp 5,5 triliun. Namun, secara keseluruhan, aliran dana asing masih mencatatkan net outflow sebesar Rp 52,65 triliun dari pasar saham sejak awal tahun.
Nilai tukar rupiah juga tercatat melemah 0,46% ke level Rp 16.688 per dolar Amerika Serikat (AS).
Rully mengamati adanya perbedaan gaya kepemimpinan antara Sri Mulyani dan Purbaya Yudhi Sadewa sebagai menteri keuangan. Sri Mulyani dinilai lebih konservatif dan fokus pada menjaga stabilitas, sehingga pertumbuhan ekonomi cenderung tidak terlalu agresif.
Sementara itu, Purbaya Yudhi Sadewa cenderung lebih berani melakukan akselerasi yang berpotensi meningkatkan pertumbuhan ekonomi, namun juga dengan risiko yang lebih tinggi.
Gelar RUPSLB, Vale Indonesia (INCO) Ubah Susunan Direksi
Pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi idealnya akan meningkatkan profitabilitas atau pendapatan perusahaan.
“Jika pemerintah lebih agresif, dampaknya bisa positif bagi perusahaan dan IHSG, asalkan disertai dengan kehati-hatian,” katanya.
Ekonom Panin Sekuritas, Felix Darmawan, menilai bahwa pasar saham Indonesia masih memiliki prospek positif di sisa tahun 2025, meskipun perjalanannya tidak akan sepenuhnya mulus.
Paket stimulus pemerintah, seperti suntikan Rp 200 triliun ke Himbara, insentif perumahan MBR, MBG, hingga program Paket Ekonomi “8+4+5”, berpotensi menjadi katalis kuat untuk mendorong konsumsi dan sektor riil.
“Hal itu juga didukung oleh penurunan suku bunga BI yang memberikan ruang likuiditas yang lebih longgar bagi emiten,” katanya kepada Kontan, Selasa (23/9).
Namun, di sisi lain, pelemahan rupiah menjadi faktor pemberat bagi pergerakan pasar, karena meningkatkan beban impor dan utang valas emiten. Rupiah yang rentan melemah juga membuat sebagian investor asing lebih berhati-hati.
Simak! Ini Strategi Diversifikasi Bisnis Astra Otoparts (AUTO)
“Jadi, efek kebijakan pemerintah ini campuran. Dalam jangka pendek, kebijakan ini dapat menopang konsumsi dan investasi, tetapi risiko eksternal tetap menjadi tantangan,” ungkapnya.
Investment Analyst Infovesta Utama, Ekky Topan, menyatakan bahwa prospek pasar saham hingga akhir 2025 masih cukup menjanjikan, meskipun tetap dibayangi oleh sejumlah tantangan.
“Namun, berbagai kebijakan yang digulirkan pemerintah belakangan ini memberikan sinyal kuat bahwa pemerintah berkomitmen untuk mempercepat pemulihan ekonomi dan menjaga daya beli masyarakat,” ujarnya kepada Kontan, Selasa (23/9).
Harry Su melihat bahwa pasar saham masih berpeluang menguat, didukung oleh injeksi likuiditas Rp 200 triliun jika dimanfaatkan dengan tepat oleh perbankan untuk disalurkan ke sektor produktif, penurunan suku bunga BI, dan stimulus kebijakan fiskal yang dapat mendukung pertumbuhan PDB di atas 5%.
“Namun, pelemahan rupiah bisa menjadi pemberat, menekan konsumer impor tetapi sekaligus menguntungkan komoditas ekspor seperti batubara, nikel, dan CPO,” ungkapnya.
Kenaikan belanja pemerintah di tahun 2026 juga akan mendorong kinerja emiten di sektor konsumen, sektor infrastruktur dan konstruksi melalui akselerasi perdagangan dan investasi, sektor energi yang didorong suntikan Rp 402,4 triliun untuk transisi energi, hingga sektor kesehatan dan pendidikan.
Simak! Ini Strategi Diversifikasi Bisnis Astra Otoparts (AUTO)
“Efek psikologisnya bagi investor adalah keyakinan bahwa pemerintah konsisten menjaga arah pertumbuhan, sehingga risiko domestik relatif terkelola,” katanya.
Namun, akan ada pergeseran nuansa untuk tahun 2026, jika dibandingkan dengan kebijakan di tahun 2025. Di tahun ini, kebijakan lebih bernuansa konsolidasi, karena menjaga stabilitas dan memastikan transisi kebijakan berjalan mulus. Sehingga, masih menghasilkan sentimen wait and see.
Sementara di tahun 2026, nuansanya sudah mulai menampilkan “warna” ekspansi, dengan belanja sosial, produktif, dan investasi yang lebih besar. Sehingga, sentimen yang muncul menjadi “optimistic cautious“.
APBN 2026 didesain untuk menjadi catalyst yang menggerakkan ekonomi sekaligus memberi ruang pertumbuhan bagi pasar saham.
Bagi investor, arah fiskal ini menjadi penegasan bahwa pemerintah tidak hanya menjaga stabilitas, tetapi juga berani mengeksekusi agenda pembangunan dengan skala yang lebih besar.
“Pasar lebih percaya diri pada prospek domestik, meskipun tetap mewaspadai faktor global seperti suku bunga The Fed atau harga komoditas,” katanya.
Sektor Pilihan dan Rekomendasi
Rully melihat bahwa implikasi kebijakan baru tersebut bagi pasar modal adalah volatilitas jangka pendek yang berpotensi berlanjut, tetapi peluang investasi tetap terbuka dalam periode konsolidasi.
“Pasar masih menantikan kepastian apakah kebijakan ekspansif ini akan tetap menjaga keberlanjutan fiskal. Ketidakpastian tersebut menjadi salah satu faktor yang menahan pergerakan indeks saham dan meningkatkan volatilitas pasar obligasi,” jelasnya.
Pelemahan pasar saham masih berpotensi berlanjut dalam jangka pendek. Secara fundamental, Mirae Asset belum mengubah target IHSG dari level 6.900 di akhir tahun 2025.
Namun, tidak menutup kemungkinan IHSG masih bisa bertahan di atas 8.000 hingga akhir tahun ini dengan volatilitas yang cukup tinggi.
Namun, kondisi tersebut justru dapat menjadi momentum bagi investor untuk melakukan pembelian saat terjadi koreksi (buy on weakness) pada saham-saham pilihan yang memiliki fundamental baik.
Kinerja Indeks Industri Terdorong Pemangkasan Suku Bunga, Cek Rekomendasi Sahamnya
Rully merekomendasikan sektor perbankan, yang diprediksi kinerjanya dapat membaik, terutama untuk bank BUMN dengan adanya penyaluran dana Rp 200 triliun, asalkan tidak diikuti dengan kenaikan kredit tidak lancar (NPL) yang signifikan.
“Selain saham-saham emiten perbankan, TLKM, TOWR, MTEL, JPFA, KLBF, dan BRPT bisa menjadi saham pilihan yang berpotensi menarik dalam periode konsolidasi ini,” ungkapnya.
Felix berpendapat bahwa dengan kombinasi stimulus fiskal dan moneter, IHSG memiliki peluang untuk tetap menguat sampai akhir tahun. Target realistis IHSG berada di kisaran 8.100–8.300 di akhir 2025, dengan asumsi sentimen global tidak memburuk.
Sementara itu, waktu yang tepat bagi aliran dana asing untuk masuk ke IHSG akan bergantung pada stabilitas rupiah dan kejelasan arah kebijakan fiskal pasca reshuffle.
“Masuknya kembali arus asing kemungkinan lebih terlihat di kuartal IV, ketika pasar mulai pricing in atas outlook tahun 2026 dengan prospek inflasi terkendali dan suku bunga global yang turun,” katanya.
Kembali Cetak Rekor, Bagaimana Prospek Harga Emas Hingga Akhir Tahun?
Dilihat dari sektoral, sektor konsumer menjadi penerima manfaat utama dari program bantuan sosial dan stimulus rumah tangga. Sektor properti juga akan terdongkrak berkat insentif perumahan MBR.
Sektor perbankan besar juga tetap menjadi tulang punggung, karena menyalurkan kredit konsumsi dan KPR, apalagi di era suku bunga rendah.
Ringkasan
Pasar saham Indonesia diperkirakan menghadapi tantangan di sisa tahun 2025 meskipun pemerintah mengalokasikan Rp 16,23 triliun untuk stimulus ekonomi dari APBN 2025. Paket ekonomi ini mencakup delapan program akselerasi, empat program lanjutan, dan lima program unggulan yang fokus pada penyerapan tenaga kerja. Kebijakan lain seperti suntikan dana ke bank Himbara dan penurunan suku bunga BI juga diharapkan dapat memacu pertumbuhan ekonomi.
Analis menilai bahwa stimulus ini relatif kecil dibandingkan total APBN, namun berfungsi sebagai shock absorber. Percepatan penyerapan belanja pemerintah dan peningkatan APBN 2026 mencerminkan kebijakan fiskal yang lebih ekspansif. Sektor perbankan, konsumer, dan properti diperkirakan akan diuntungkan, dengan rekomendasi saham meliputi bank BUMN, TLKM, TOWR, MTEL, JPFA, KLBF, dan BRPT.