BANYU POS JAKARTA. Kualitas perusahaan yang mencatatkan saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) kembali menjadi sorotan. BEI diharapkan tidak hanya berfokus pada pencapaian target jumlah perusahaan yang melakukan initial public offering (IPO), tetapi juga pada kualitas emiten yang melantai.
BEI tampaknya merevisi target jumlah perusahaan yang akan melakukan IPO pada tahun 2025. Semula, BEI menargetkan 66 perusahaan, namun kini target tersebut diturunkan menjadi 45 perusahaan.
Direktur Utama BEI, Iman Rachman, mengungkapkan bahwa hingga 24 Oktober 2025, terdapat 955 saham perusahaan tercatat, dengan penambahan 23 saham baru sepanjang tahun ini.
Dari jumlah tersebut, lima di antaranya merupakan lighthouse IPO, yaitu IPO dengan kapitalisasi pasar minimal Rp3 triliun serta free float 15% atau nilai kapitalisasi pasar free float lebih dari Rp700 miliar.
“Adapun total penghimpunan dana atas seluruh efek sepanjang tahun ini mencapai Rp202,6 triliun,” ujar Iman dalam Konferensi Pers RUPSLB BEI, Rabu (29/10).
Direktur Penilaian Perusahaan BEI, I Gede Nyoman Yetna, menambahkan bahwa capaian IPO lighthouse sepanjang tahun 2025 sejalan dengan target Bursa. Ia juga menyebutkan masih ada tiga calon emiten lighthouse dari sektor finansial, infrastruktur, dan pertambangan yang akan IPO di sisa tahun ini.
“Jadi ini kita harapkan nanti akan dapat tercatat di tahun 2025 ini,” ungkap Nyoman.
Lebih lanjut, Nyoman menjelaskan bahwa total pencatatan yang diharapkan Bursa pada 2025 adalah 430 efek. Namun, saat ini total pencatatan sudah melampaui target, mencapai lebih dari 600 efek.
Dengan capaian ini, Nyoman mengklaim bahwa target BEI pada tahun 2025 untuk seluruh produk telah tercapai lebih dari 140%.
Sayangnya, BEI tidak secara eksplisit menyatakan alasan di balik penurunan target jumlah perusahaan IPO tahun ini.
Pengamat Pasar Modal dari Universitas Indonesia, Budi Frensidy, berpendapat bahwa kemungkinan besar tidak tercapainya target IPO tahun ini disebabkan oleh terungkapnya kasus yang melibatkan enam orang di salah satu divisi BEI terkait skandal IPO. “Akibatnya, approval IPO mulai diperketat,” ujarnya kepada Kontan, Rabu (29/10).
Sementara itu, pengamat pasar modal sekaligus Direktur Avere Investama, Teguh Hidayat, menilai bahwa sejak sekitar tahun 2018-2019, BEI cenderung fokus pada kuantitas emiten IPO dan kurang memperhatikan nilai emisinya.
“Padahal, lebih bagus jumlah emiten yang IPO sedikit, tetapi memiliki nilai emisi besar,” ujarnya.
Kualitas Emiten IPO
Selain dari sisi jumlah yang berkurang, kualitas perusahaan yang melantai di Bursa pada tahun ini juga menimbulkan pertanyaan.
Beberapa emiten baru terlihat menggunakan dana hasil IPO bukan untuk ekspansi bisnis, melainkan untuk membayar utang. Contohnya, PT Merdeka Gold Resources (EMAS), anak perusahaan PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA), yang IPO pada bulan September lalu.
Dalam proses IPO, EMAS melepas 1,62 miliar saham baru atau 10% dari modal ditempatkan dengan harga penawaran Rp 2.880 per saham. Dari aksi korporasi ini, perusahaan berhasil meraup dana sekitar Rp 4,66 triliun.
Sebagian besar dana IPO EMAS, sekitar Rp 3,99 triliun, rencananya akan digunakan untuk pembayaran lebih awal kepada MDKA atas seluruh pokok terutang yang timbul berdasarkan Perjanjian Utang Piutang tanggal 8 April 2022.
Pada tanggal 3 September 2025, saldo pokok terutang EMAS dalam Perjanjian Utang Piutang adalah sebesar US$ 260 juta atau setara Rp 4,26 triliun.
Menanggapi hal ini, Nyoman menjelaskan bahwa penggunaan dana IPO merupakan kebijakan perusahaan, yang bisa merupakan kombinasi dari capital expenditure (capex) dan upaya memperbaiki kinerja, termasuk pembayaran utang.
“Secara umum, penggunaan dana itu harus dilihat dengan konteks agar perusahaan bisa bertumbuh ke depan. Boleh saja untuk memperbaiki performa, tetapi perlu dilihat juga loncatan kinerja ke depannya seperti apa,” katanya.
Perbaikan kinerja tersebut dapat dilihat oleh investor dari laporan keuangan emiten setelah melantai di Bursa. “Yang ditunggu para investor tentu perbaikan. Selain bayar utang, tentu juga memperbaiki performa dari sisi laporan keuangan,” tuturnya.
Budi Frensidy menilai bahwa BEI selama ini kurang selektif dalam menyaring perusahaan yang melakukan IPO.
Teguh Hidayat berpendapat bahwa pembayaran utang menggunakan dana IPO sebenarnya tidak masalah, asalkan ada pertanggungjawabannya yang jelas. Dengan berkurangnya utang, diharapkan perusahaan dapat mencetak keuntungan yang lebih besar di masa depan.
Namun, sentimen pembayaran utang dapat memberikan kesan negatif kepada investor publik. Oleh karena itu, perusahaan perlu didorong untuk tetap melakukan ekspansi.
“Tapi saat ini ekonomi sedang lesu, jadi perusahaan pun tak terlalu berani untuk ekspansi bisnis dan lebih memilih untuk bayar utang,” katanya.
Performa kinerja saham emiten yang IPO belakangan ini juga kurang memuaskan. Bahkan, ada kecenderungan saham emiten IPO hanya menjadi saham gorengan.
“Ini akibatnya juga berpengaruh ke perusahaan yang pada akhirnya urung IPO lantaran takut partisipasi publik hanya sebatas di situ dan akhirnya takut mempengaruhi reputasi perusahaan,” ungkap Teguh.
Target Tahun 2026
Untuk tahun 2026, BEI menargetkan 50 perusahaan IPO, meningkat dari target revisi tahun ini. Adapun jumlah efek yang ditargetkan tahun depan sebanyak 555.
Target tersebut mencakup pencatatan efek saham, emisi obligasi, dan pencatatan efek lainnya seperti Exchange-Traded Fund (ETF), Dana Investasi Real Estate (DIRE), Dana Investasi Infrastruktur (DINFRA), dan Efek Beragun Aset (EBA), serta emisi waran terstruktur.
Namun, jika ada perusahaan yang sudah berada dalam pipeline IPO tahun 2025 tidak menyelesaikan proses hingga akhir Desember, maka akan menjadi carry over ke tahun 2026.
Dengan kata lain, ada kemungkinan BEI tidak akan mencapai target jumlah perusahaan IPO sebanyak 45 perusahaan di tahun 2025.
Iman Rachman juga menargetkan rata-rata nilai transaksi harian (RNTH) pada tahun 2026 mencapai Rp14,5 triliun dengan jumlah hari bursa sebanyak 239 hari.
“Investor pasar modal baru sejumlah 2 juta investor baru di tahun 2026,” katanya.
Budi Frensidy menilai target transaksi harian BEI masih konservatif. Namun, jumlah IPO 50 di tahun 2026 dianggap realistis, terutama jika BEI memang ingin lebih memprioritaskan kualitas daripada kuantitas. Hal ini juga mengingat target untuk tahun ini yang hanya sekitar 45 perusahaan.
“Target transaksi harian di tahun 2026 akan mudah tercapai, tetapi tidak dengan jumlah IPO sebanyak 50 jika ingin (perusahaan) yang berkualitas bagus,” paparnya.
Demi menjaga kualitas perusahaan IPO ke depan, BEI juga diimbau untuk berhati-hati dengan emiten dengan nilai emisi kecil dan perusahaan yang dimiliki oleh warga negara asing (WNA).
Teguh Hidayat mengatakan bahwa target nilai transaksi harian BEI di tahun depan sebenarnya cukup optimistis. Pasalnya, transaksi harian di Bursa saat ini hanya berkisar Rp10 triliun per hari.
“Itu pun dari emiten konglomerasi, seperti milik Prajogo Pangestu, transaksi hariannya sudah di kisaran Rp 2 triliun – Rp 3 triliun. Jadi, sisanya tinggal Rp 7 triliun – Rp 8 triliun per hari,” ungkapnya.
Peningkatan RNTH dapat didorong dari transaksi saham-saham sektor perbankan. Namun, peningkatan RNTH ini sulit dicapai hanya dengan meningkatkan target perusahaan IPO di tahun depan.
Sebab, investor masih khawatir soal kualitas emiten IPO belakangan ini. BEI pun diimbau untuk “membersihkan” saham-saham gorengan terlebih dahulu, sebelum meningkatkan kuantitas IPO secara signifikan.
Mekanisme pembersihannya bisa beragam, mulai dari pemberian sanksi terhadap emiten terkait, hingga pengembalian dana ke investor lewat dividen yang rutin.
“Kembalikan dulu kepercayaan investor agar mereka mau investasi di pasar saham, termasuk di saham-saham IPO. Jika itu tak dilakukan, target IPO seberapa banyak pun, akan dicap saham gorengan oleh pasar,” tuturnya.
Ringkasan
Bursa Efek Indonesia (BEI) merevisi target jumlah perusahaan yang akan melakukan IPO pada tahun 2025 menjadi 45 perusahaan dari target awal 66. Meskipun demikian, BEI menegaskan fokus pada kualitas emiten yang melantai, bukan hanya kuantitas. Terungkapnya kasus skandal IPO memicu pengetatan proses persetujuan IPO.
Kualitas emiten IPO juga menjadi sorotan, dengan beberapa perusahaan menggunakan dana IPO untuk membayar utang dan bukan untuk ekspansi bisnis. Pengamat pasar modal berpendapat BEI perlu lebih selektif dalam menyaring perusahaan IPO dan mengimbau untuk berhati-hati dengan emiten bernilai emisi kecil dan dimiliki WNA. Untuk tahun 2026, BEI menargetkan 50 perusahaan IPO dan peningkatan rata-rata nilai transaksi harian menjadi Rp14,5 triliun, namun target ini dianggap optimistis mengingat kekhawatiran investor terhadap kualitas emiten IPO.




