FRAKSI Partai Demokrat mendesak pemerintah untuk melakukan diversifikasi pembiayaan negara, terutama di tengah kekhawatiran terkait peningkatan belanja utang yang diproyeksikan terjadi pada tahun 2026. Demokrat menyarankan pemanfaatan instrumen utang yang lebih efisien dan berkelanjutan, seperti green bond dan diaspora bond, sebagai solusi alternatif.
Usulan ini disampaikan oleh Andi Muzakir Aqil, perwakilan Fraksi Demokrat, dalam pandangan umum fraksi terhadap Rancangan Undang-undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RUU APBN) 2026 pada sidang paripurna DPR, Selasa, 19 Agustus 2025. Andi menyoroti bahwa “Belanja utang yang terus meningkat, di tengah target penerimaan yang ambisius, menjadi perhatian serius.”
Menurut Andi, Fraksi Demokrat menilai bahwa pemerintah perlu lebih agresif dalam melakukan inovasi pembiayaan. “Melalui instrumen yang lebih efisien dan berorientasi pada pembangunan berkelanjutan seperti green bond, diaspora bond, maupun skema blend finance,” jelas Anggota Komisi III DPR RI tersebut. Diversifikasi sumber pembiayaan ini diharapkan dapat meringankan beban utang negara di masa depan.
Dalam RAPBN 2026, pemerintah menargetkan pembiayaan utang sebesar Rp 781,9 triliun. Angka ini menunjukkan peningkatan signifikan dibandingkan outlook penarikan utang tahun 2025 yang sebesar Rp 715,5 triliun, maupun APBN 2024 yang tercatat senilai Rp 558,1 triliun. Kenaikan target utang ini memicu kekhawatiran terkait keberlanjutan fiskal.
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) juga menyoroti potensi peningkatan beban pembiayaan utang pada tahun mendatang. Riza Annisa Pujarama, Peneliti Pusat Makroekonomi dan Keuangan Indef, menjelaskan bahwa beban cicilan bunga akan meningkat akibat tingginya level suku bunga atau yield Surat Berharga Negara (SBN).
Pada tahun 2026, imbal hasil SBN tenor 10 tahun masih ditetapkan sebesar 6,9 persen. “Masih tertinggi di ASEAN, sehingga biaya berutang kita tinggi,” ungkap Riza. Kondisi ini menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah dalam mengelola utang negara.
Selain itu, beban pembayaran utang pada tahun 2026 juga diprediksi meningkat. Berdasarkan perhitungan Indef, total kewajiban utang pemerintah secara keseluruhan pada tahun 2026 diperkirakan mencapai Rp 1.433 triliun, melonjak signifikan dari tahun sebelumnya.
Total kewajiban utang tersebut terdiri dari utang jatuh tempo sebesar Rp 833,9 triliun dan bunga utang sebesar Rp 599,4 triliun. Sebagai perbandingan, pada tahun 2025, beban utang jatuh tempo dan pembayaran bunga utang masing-masing adalah Rp 800,3 triliun dan Rp 552,1 triliun. Peningkatan beban bunga utang ini menjadi perhatian serius.
Meskipun rasio utang terhadap PDB dipatok sebesar 39,96 persen, Riza menekankan bahwa pemerintah perlu memperhatikan kemampuan membayar utang. “Beban bunga utang hampir Rp 600 triliun jadi semakin tinggi. Porsinya sudah hampir 20 persen dari belanja pemerintah pusat,” jelasnya. Alokasi anggaran yang besar untuk membayar bunga utang dapat mengurangi ruang fiskal untuk pembangunan lainnya.
Sementara itu, rasio pembayaran bunga terhadap penerimaan pajak pada tahun depan diperkirakan mencapai 22,27 persen. Ini berarti bahwa 22,27 persen dari penerimaan pajak akan dialokasikan untuk membayar bunga utang. Situasi ini menggarisbawahi pentingnya diversifikasi pembiayaan dan pengelolaan utang yang lebih hati-hati.
Pilihan Editor: Efektivitas Aturan Influencer Saham Mencegah Kerugian Investor
Ringkasan
Fraksi Partai Demokrat mendorong pemerintah untuk melakukan diversifikasi pembiayaan negara, terutama dengan mempertimbangkan proyeksi peningkatan belanja utang pada tahun 2026. Mereka menyarankan penggunaan instrumen utang yang lebih efisien dan berkelanjutan seperti green bond dan diaspora bond sebagai alternatif. Usulan ini bertujuan untuk meringankan beban utang negara di masa depan, mengingat target pembiayaan utang dalam RAPBN 2026 mencapai Rp 781,9 triliun.
Ekonom dari Indef juga menyoroti potensi peningkatan beban pembiayaan utang karena tingginya suku bunga SBN dan peningkatan kewajiban utang secara keseluruhan. Beban bunga utang yang diperkirakan mencapai hampir Rp 600 triliun pada tahun 2026, akan mengambil porsi signifikan dari belanja pemerintah pusat dan penerimaan pajak, sehingga diversifikasi pembiayaan menjadi krusial.