ALIANSI Jurnalis Independen (AJI) Jakarta baru saja merilis hasil Survei Upah Layak Jurnalis 2025 di wilayah Jabodetabek yang mengungkap fakta mengejutkan. Survei tersebut menunjukkan bahwa standar upah layak untuk jurnalis di tahun 2025 adalah Rp 9,1 juta per bulan, meningkat dibandingkan angka Rp 8,3 juta pada tahun sebelumnya.
Caesar Akbar, Koordinator Divisi Ketenagakerjaan AJI Jakarta, menegaskan komitmen organisasinya untuk terus mendorong perusahaan media agar memberikan upah yang sesuai dengan kebutuhan hidup jurnalis. Ia menjelaskan bahwa profesi jurnalis memiliki kebutuhan yang cukup tinggi, mulai dari mobilitas di lapangan, transportasi, kebutuhan rekreasi untuk menjaga kesehatan mental, tabungan untuk masa depan, hingga peralatan kerja yang memadai.
Namun, ironisnya, survei ini juga mengungkap kesenjangan yang lebar antara harapan dan realita. Caesar Akbar menyayangkan bahwa masih banyak jurnalis di Jabodetabek yang menerima upah jauh di bawah standar layak. “Setiap tahun, kami selalu merasa kecewa karena kenyataannya upah layak yang diterima jurnalis bahkan tidak mencapai setengahnya, atau bahkan seperempatnya dari standar yang seharusnya,” ungkapnya saat peluncuran survei di Sekretariat AJI Jakarta, Kalibata, Jakarta Selatan, pada tanggal 30 Agustus 2025.
Survei yang dilakukan secara daring ini melibatkan 103 jurnalis yang bekerja di wilayah Jabodetabek sebagai responden. Pengumpulan data dilakukan sejak 11 April hingga 3 Juni 2025 menggunakan metode *purposive sampling*, dengan fokus pada jurnalis yang memiliki pengalaman kerja antara 1 hingga 3 tahun.
Hasilnya sangat memprihatinkan. Survei menunjukkan bahwa mayoritas jurnalis, tepatnya 93,2 persen responden, tidak menerima upah yang layak atau berada di bawah standar yang ditetapkan. Lebih detail lagi, 58,3 persen jurnalis hanya memperoleh pendapatan bersih (take home pay) antara Rp 4 hingga 6 juta, 24,3 persen mendapatkan Rp 6 hingga 8 juta, dan hanya 7,8 persen yang menerima sekitar Rp 2,4 juta. Bahkan, hanya segelintir kecil, yaitu 1 persen responden, yang berhasil memperoleh penghasilan di atas Rp 10 juta setiap bulannya.
Di sisi lain, survei mencatat bahwa sebagian besar jurnalis di Jabodetabek telah menerima fasilitas kerja yang umum, seperti tunjangan kesehatan, ruang laktasi bagi ibu menyusui, tunjangan pembalut, vaksin HPV, hingga pemeriksaan kehamilan. Hal ini menunjukkan adanya perhatian perusahaan media terhadap kesejahteraan dasar karyawannya, meskipun belum merata dalam hal upah.
Survei ini juga menyoroti isu jam kerja dan sistem lembur jurnalis, yang seharusnya diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja beserta perubahannya, seperti UU Nomor 6 Tahun 2023 dan PP Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Aturan yang berlaku menetapkan jam kerja maksimal 8 jam per hari, dengan jaminan 2 hari libur dan bonus lembur yang sesuai.
Namun, fakta di lapangan berkata lain. Sebanyak 35,9 persen jurnalis bekerja selama delapan jam, 5,8 persen bekerja kurang dari delapan jam, dan ironisnya, 58,3 persen justru bekerja lebih dari delapan jam setiap harinya. Dari mereka yang melakukan pekerjaan lembur, 88,3 persen tidak menerima bonus atau uang kerja tambahan. Lebih jauh lagi, 46,6 persen responden mengakui bahwa perusahaan media tempat mereka bekerja tidak menerapkan aturan lembur sesuai dengan ketentuan undang-undang.
Masalah tidak berhenti di situ. Mayoritas perusahaan media yang menjadi responden, yaitu 54,4 persen, juga tidak menerapkan perhitungan upah hari libur sesuai aturan yang berlaku. Sementara itu, 37,9 persen responden mengaku tidak mengetahui adanya aturan tersebut, dan hanya 7,8 persen yang menyatakan bahwa perusahaan mereka telah menerapkan aturan upah hari libur dengan benar.
Temuan lain yang mengkhawatirkan adalah terkait insentif tambahan saat lembur. Survei menemukan bahwa 45,6 persen jurnalis tidak mendapatkan insentif apapun ketika bekerja lembur. Meskipun demikian, ada 43,7 persen yang menerima insentif berupa makanan, transportasi, atau bentuk lain, sedangkan 10,7 persen responden mengaku tidak mengetahui informasi terkait hal ini.
Pilihan Editor: Penganiayaan Jurnalis di Maluku Utara: Pekerja Pers Masih Rentan
Ringkasan
Survei Upah Layak Jurnalis 2025 oleh AJI Jakarta menetapkan upah layak jurnalis di Jabodetabek sebesar Rp 9,1 juta per bulan, meningkat dari Rp 8,3 juta pada tahun sebelumnya. Namun, survei terhadap 103 jurnalis mengungkapkan kesenjangan besar, dengan 93,2% responden menerima upah di bawah standar, mayoritas (58,3%) hanya mendapatkan Rp 4-6 juta per bulan.
Survei juga menemukan bahwa sebagian besar jurnalis (58,3%) bekerja lebih dari 8 jam sehari tanpa lemburan, dan 54,4% perusahaan tidak menerapkan upah hari libur sesuai aturan. Banyak jurnalis juga tidak mendapat insentif lembur, dengan 45,6% tidak menerima apapun, menunjukkan praktik kerja yang tidak sesuai regulasi dan merugikan kesejahteraan jurnalis.