BANYU POS – Rencana perubahan status hukum PAM Jaya dari Perusahaan Umum Daerah (Perumda) menjadi Perseroan Daerah (Perseroda) oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menuai penolakan. Anggota Komisi B DPRD DKI Jakarta, Francine Widjojo, secara tegas menentang langkah yang digagas Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung, tersebut. Alasan penolakan ini didasari kekhawatiran bahwa perubahan status ini merupakan persiapan untuk Initial Public Offering (IPO) atau penawaran saham perdana, yang menurutnya sama dengan privatisasi BUMD.
Francine Widjojo berpendapat bahwa privatisasi BUMD, khususnya yang memiliki tugas khusus dalam mengelola kepentingan umum seperti penyediaan air minum, dilarang oleh peraturan yang berlaku. “Privatisasi dilarang untuk BUMD yang diberikan tugas khusus untuk mengurusi kepentingan umum, seperti penyediaan air minum,” tegasnya.
Landasan hukum penolakan ini merujuk pada Pasal 8 dan Penjelasan Pasal 8 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 54 Tahun 2017. Dalam peraturan tersebut, pendirian Perumda diprioritaskan untuk menyelenggarakan kemanfaatan umum. Lebih lanjut, aturan ini secara jelas melarang privatisasi BUMD yang bergerak di sektor vital. “Bahkan, dalam penjelasan pasal tersebut secara eksplisit disebutkan bahwa yang dimaksud dengan penyediaan kemanfaatan umum adalah usaha penyediaan pelayanan air minum,” ungkap Francine.
Pasal 118 huruf b PP yang sama juga memperkuat larangan privatisasi bagi BUMD yang memiliki tugas khusus untuk kepentingan umum. Menurut Francine, PAM Jaya, sebagai BUMD yang didirikan untuk menyediakan air minum bagi warga Jakarta, tidak boleh diprivatisasi. “PAM Jaya merupakan BUMD yang didirikan untuk menyediakan air minum bagi warga Jakarta, sehingga tidak boleh diprivatisasi,” imbuhnya dengan nada tegas.
Penolakan ini bukan hanya didasari oleh aspek hukum, tetapi juga kekhawatiran akan dampak langsung bagi warga Jakarta. Francine menyoroti potensi perubahan kebijakan tarif air yang dapat memberatkan masyarakat. “Kekhawatiran utama kami terletak pada kebijakan tarif air,” ujarnya.
Keresahan ini diperkuat oleh pengalaman kenaikan tarif PAM Jaya di awal tahun yang lalu, yang dinilai bermasalah. Francine menyoroti bahwa kenaikan tarif air minum diberlakukan meskipun air yang disediakan PAM Jaya sering dikeluhkan warga terkait kualitasnya. “Keputusan Gubernur itu mengatur kenaikan tarif air minum, padahal air yang disediakan oleh PAM Jaya adalah air bersih. Itu pun masih sering dikeluhkan warga terkait kualitas air bersihnya,” jelasnya.
Sebagai contoh, warga apartemen mengalami kenaikan tarif yang signifikan, mencapai hingga 71,3 persen karena dikelompokkan sebagai pelanggan komersial. “Masalah ini juga belum diselesaikan oleh PAM Jaya dan warga yang melakukan protes ke Balai Kota tidak ditanggapi,” tegas Francine.
Lebih lanjut, Francine Widjojo mengutip Naskah Akademik Perubahan Bentuk Hukum PAM Jaya yang mengindikasikan bahwa perusahaan air ini akan semakin berorientasi pada pencarian keuntungan. “Naskah akademik tersebut bahkan menyebutkan bahwa pendekatan ini dapat membantu PAM Jaya menjadi lebih profit oriented,” ungkapnya, menggarisbawahi kekhawatiran bahwa pelayanan publik akan terabaikan demi mengejar profit.
Dampak Demonstrasi Berujung Ricuh, Penumpang LRT Jabodebek Teratat Turun
Ringkasan
DPRD DKI Jakarta menolak perubahan status hukum PAM Jaya menjadi Perseroda karena khawatir akan menjadi langkah awal IPO atau privatisasi. Penolakan ini didasarkan pada peraturan yang melarang privatisasi BUMD yang bertugas menyediakan air minum, merujuk pada PP Nomor 54 Tahun 2017. Anggota DPRD menegaskan bahwa air bukan komoditas dan privatisasi dapat melanggar kepentingan umum.
Selain aspek hukum, penolakan juga dilatarbelakangi kekhawatiran kenaikan tarif air yang dapat memberatkan masyarakat, berkaca pada pengalaman kenaikan tarif sebelumnya yang dinilai bermasalah. DPRD juga menyoroti naskah akademik perubahan hukum PAM Jaya yang mengindikasikan perusahaan akan lebih berorientasi pada profit, yang berpotensi mengabaikan pelayanan publik.