SKEMA berbagi beban atau burden sharing antara Bank Indonesia (BI) dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk mendanai program Asta Cita Presiden Prabowo Subianto menuai kritik tajam. Mekanisme ini dianggap berpotensi memicu inflasi dan menggerus kredibilitas BI sebagai penjaga stabilitas moneter.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menyoroti tiga dampak negatif utama dari skema burden sharing ini. Pertama, risiko lonjakan inflasi yang mengkhawatirkan. Kedua, terancamnya independensi BI dalam menjalankan kebijakan moneter. Ketiga, terciptanya ketergantungan jangka panjang pemerintah pada utang dari bank sentral.
Rencana burden sharing ini sebelumnya diungkapkan oleh Gubernur BI, Perry Warjiyo, dalam rapat kerja daring bersama DPD RI pada Selasa, 2 September 2025. Langkah ini melibatkan pembelian Surat Berharga Negara (SBN) oleh BI dari pasar sekunder. Kesepakatannya, sebagian beban bunga yang harus dibayar pemerintah atas SBN tersebut akan ditanggung oleh BI.
Dana yang diperoleh pemerintah dari penerbitan SBN ini akan dialokasikan untuk membiayai dua program prioritas Presiden Prabowo Subianto, yaitu program Perumahan Rakyat dan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih.
Bhima Yudhistira menjelaskan bahwa inflasi berpotensi melonjak karena BI terpaksa mencetak uang untuk membeli SBN. Tindakan ini dapat memperburuk tekanan inflasi yang sudah ada akibat kenaikan harga dan kelangkaan beberapa komoditas pokok. Saat ini, harga beras menjadi salah satu pemicu utama inflasi.
“BBM mulai enggak banyak yang jual. Jadi artinya ada trigger inflasi dalam beberapa bulan ke depan. Ditambah burden sharing, makin buruk gitu. Tapi kan mereka (pemerintah) denial semua,” ujarnya kepada Tempo, dikutip Rabu, 10 September 2025.
Dampak negatif lain yang mengemuka adalah terancamnya independensi Bank Indonesia. Celios mengkritik keras pengorbanan kebijakan moneter demi ambisi fiskal pemerintah. Tugas utama BI seharusnya menjaga stabilitas moneter, bukan menanggung beban anggaran pemerintah.
Risiko ketiga, menurut Bhima, adalah menciptakan kecanduan bagi pemerintah untuk terus menerus meminjam dana dari Bank Indonesia. “Karena BI selalu jadi standby buyer,” tegas Bhima.
Gubernur BI Perry Warjiyo menjelaskan bahwa tujuan dari melanjutkan kebijakan burden sharing dengan Kementerian Keuangan adalah untuk mengurangi beban pembiayaan program-program ekonomi kerakyatan yang diusung Presiden Prabowo Subianto. Bank sentral baru-baru ini telah membeli SBN dari pasar sekunder senilai Rp 200 triliun, yang sebagian dialokasikan untuk mendanai program-program tersebut.
Perry menjelaskan, burden sharing dilakukan agar mengurangi beban pembiayaan dari program-program untuk ekonomi kerakyatan dalam program Asta Cita.
Dalam kesepakatan antara BI dan Kemenkeu, beban bunga SBN dibagi rata, masing-masing pihak menanggung setengah dari total beban. Sebagai contoh, untuk pendanaan perumahan rakyat, beban efektif yang ditanggung masing-masing pihak adalah sebesar 2,9 persen. Sementara untuk Koperasi Desa Merah Putih, bunga efektifnya adalah 2,15 persen.
Perry Warjiyo memaparkan bahwa formula sederhana untuk menghitung burden sharing adalah dengan mengurangi bunga SBN 10 tahun dengan hasil penempatan pemerintah di perbankan, kemudian sisa bunga tersebut dibagi dua.
Sementara itu, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyatakan bahwa sebagai menteri yang baru menjabat, ia belum membahas secara detail mengenai skema burden sharing ini. Meskipun demikian, ia meyakini bahwa skema tersebut tidak akan menyebabkan inflasi. Menurutnya, inflasi hanya akan melonjak jika pertumbuhan ekonomi mengalami akselerasi yang signifikan. “Inflasi itu tumbuhnya cepat, kalau ekonomi tumbuh cepat,” ucapnya di Istana Negara, Selasa, 9 September 2025, seperti dikutip dari laman Youtube Sekretariat Presiden.
Pilihan Editor: Burden Sharing, Titah Jokowi yang Kini Mencekik Bank Indonesia
Ringkasan
Skema burden sharing antara BI dan Kemenkeu untuk mendanai program Asta Cita Prabowo dikritik karena berpotensi memicu inflasi dan menggerus kredibilitas BI. Direktur Celios, Bhima Yudhistira, menyoroti tiga dampak negatif utama: lonjakan inflasi, terancamnya independensi BI, dan ketergantungan pemerintah pada utang dari bank sentral.
BI melakukan burden sharing dengan membeli SBN dari pasar sekunder, sebagian bebannya ditanggung oleh BI, untuk membiayai program Perumahan Rakyat dan Koperasi Desa. Kritikus khawatir BI terpaksa mencetak uang untuk membeli SBN, memperburuk inflasi, dan menciptakan ketergantungan pemerintah pada pendanaan dari bank sentral.