RADARBISNIS – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kembali mengakhiri sesi perdagangan dengan performa yang kurang memuaskan. Pada Kamis (25/9), indeks acuan Bursa Efek Indonesia tersebut anjlok 85,89 poin atau terkoreksi 1,06 persen, bertengger di level 8.040,66. Penurunan signifikan ini menandai salah satu koreksi harian paling tajam dalam sebulan terakhir, sekaligus menegaskan adanya tekanan substansial di pasar modal domestik.
Sejak pembukaan perdagangan, IHSG sebenarnya menunjukkan upaya untuk bertahan di level 8.130 dan bahkan sempat mencapai puncak intraday di 8.146. Namun, gelombang sentimen jual yang kuat mendominasi pasar, menyeret indeks ke titik terendah harian di 8.022 dan mengikis sebagian besar capaian awal.
Menurut data dari RTI Business, kondisi pasar mencerminkan dominasi aksi jual. Dari seluruh emiten yang diperdagangkan, hanya 242 saham yang berhasil menguat, sementara mayoritas, yakni 434 saham, terperosok ke zona merah. Sebanyak 123 saham lainnya terpantau stagnan. Akibatnya, kapitalisasi pasar turut terkikis, menyisakan nilai total sebesar Rp 14.783,14 triliun.
Meskipun terjadi tekanan jual yang masif, aktivitas transaksi di pasar tetap tinggi. Tercatat frekuensi perdagangan mencapai 2,69 juta kali, dengan volume mencapai 53,47 miliar lembar saham. Total nilai transaksi menembus Rp 26,24 triliun. Angka-angka ini menunjukkan bahwa minat investor terhadap pasar saham Indonesia masih besar, meskipun sentimen negatif dari aksi jual tidak dapat dibendung pada hari tersebut.
Terpengaruh Ketidakpastian Suku Bunga The Fed
Para analis pasar menilai bahwa koreksi yang dialami IHSG tidak terlepas dari kombinasi kompleks faktor eksternal dan internal. Di level global, tren penguatan dolar AS dan ketidakpastian seputar kebijakan suku bunga Federal Reserve (The Fed) terus memicu kehati-hatian investor. Hal ini mendorong investor asing cenderung menarik dananya dari pasar-pasar berkembang, termasuk Indonesia, mencari aset yang lebih aman. Dari sisi domestik, pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dan ekspektasi perlambatan ekonomi pada kuartal III turut memperkeruh sentimen pasar.
“Pasar saat ini sangat sensitif terhadap isu-isu global. Investor memilih pendekatan ‘wait and see’, sehingga potensi capital outflow sulit dihindari,” ungkap seorang analis pasar modal di Jakarta, menyoroti dinamika yang sedang berlangsung.
Melihat kondisi ini, investor ritel disarankan untuk menerapkan strategi yang lebih selektif dalam berinvestasi. Saham-saham dengan fundamental yang kuat dan valuasi yang menarik dinilai masih menawarkan peluang dan dapat menjadi pilihan yang relatif aman di tengah gejolak indeks.
Analis tersebut menambahkan, “Jika investor tidak siap menahan risiko fluktuasi jangka pendek, sebaiknya kurangi porsi trading dan fokus pada saham-saham sektor defensif, seperti perusahaan consumer goods atau perbankan besar.”
Penurunan IHSG ini sekaligus menjadi sinyal kewaspadaan bagi para pelaku pasar menjelang akhir bulan. Apabila tekanan jual berlanjut dan sentimen negatif tidak mereda, bukan tidak mungkin indeks akan kembali menguji level psikologis krusial di 8.000.
Bursa Asia Bergerak Berbeda
Menariknya, tidak semua bursa di kawasan Asia mengalami nasib yang serupa dengan IHSG. Beberapa indeks saham Asia justru menunjukkan arah pergerakan yang berbeda pada hari yang sama.
- Nikkei 225 (Jepang): Indeks utama bursa Jepang ini menguat sekitar 0,30 persen. Nikkei berhasil mencatatkan reli tipis di tengah tekanan global, mengindikasikan bahwa sebagian investor Asia mungkin beralih ke pasar Jepang sebagai ‘safe haven’ atau tempat berlindung yang relatif aman.
- Hang Seng (Hong Kong): Berbanding terbalik, Indeks Hang Seng turun sekitar 0,13 persen. Indeks ini terus tertekan oleh sentimen negatif yang berasal dari sektor properti dan teknologi di China, yang sangat erat kaitannya dengan kebijakan ekonomi ketat Beijing.
Mengapa Arah Berbeda?
Beberapa faktor kunci dapat menjelaskan pola pergerakan yang berbeda di antara bursa-bursa Asia ini:
- Jepang sebagai Tujuan Aman: Ketika pasar global bergejolak dan ketidakpastian meningkat, Jepang seringkali menjadi pilihan utama bagi investor. Likuiditas yang tinggi dan karakteristik pasar yang lebih matang menjadikan Jepang tujuan relokasi modal yang menarik.
- China dan Hong Kong Penuh Risiko: Indeks Hang Seng sangat sensitif terhadap perlambatan ekonomi China serta regulasi ketat yang diberlakukan pada sektor properti dan teknologi. Sentimen negatif yang berkepanjangan ini membuat saham-saham di sana lebih rentan terhadap tekanan jual.
- Kontagion di Asia: Meskipun pergerakan harian dapat bervariasi, IHSG, Nikkei, dan Hang Seng tetap memiliki keterkaitan dalam tren global yang lebih luas. Studi akademik mencatat bahwa pengaruh indeks regional Asia terhadap IHSG memang ada, meskipun tidak selalu signifikan secara parsial dalam jangka pendek.
- Tekanan Domestik Indonesia: Selain faktor-faktor global, Indonesia juga menghadapi tekanan internal. Pelemahan rupiah, berlanjutnya capital outflow, dan ekspektasi perlambatan ekonomi pada kuartal III secara kolektif turut memperparah tekanan pada IHSG.
Prospek dan Implikasi
Kondisi pasar saat ini menjadi peringatan dini bagi para investor. Jika tren negatif global terus berlanjut tanpa perbaikan, IHSG berpotensi besar untuk kembali menguji level psikologis 8.000. Investor juga perlu mencermati efek domino dari bursa regional; koreksi meskipun tipis di Nikkei atau Hang Seng memiliki potensi untuk merembet dan memengaruhi sentimen pasar di Asia Tenggara.
Dalam situasi pasar yang volatil seperti sekarang, memilih saham sektor defensif—seperti perusahaan yang bergerak di bidang kebutuhan konsumen dasar (consumer staples), utilitas, dan perbankan besar—dinilai lebih aman untuk investasi jangka menengah. Sementara itu, bagi investor dengan profil risiko rendah, mengurangi porsi trading jangka pendek dan lebih fokus pada strategi investasi jangka panjang dapat menjadi pilihan yang bijak untuk menjaga portofolio mereka.