BANYU POS JAKARTA. Bank Indonesia (BI) telah mengambil langkah signifikan dengan menurunkan suku bunga acuan sebanyak empat kali sepanjang tahun ini, hingga mencapai angka 5%. Kebijakan ini tentu menimbulkan berbagai dampak, terutama bagi sektor keuangan non-bank.
Agusman, Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya Otoritas Jasa Keuangan (OJK), memberikan pandangannya terkait pengaruh penurunan suku bunga BI terhadap obligasi multifinance. Menurutnya, kebijakan ini berpotensi memicu penurunan bunga pinjaman dari pihak ketiga, serta bunga atas penerbitan obligasi yang menjadi sumber pendanaan penting bagi perusahaan multifinance. Hal ini diungkapkan dalam lembar jawaban RDK OJK, Minggu (7/9/2025).
Namun, Agusman menekankan bahwa daya tarik obligasi multifinance di mata investor tidak hanya bergantung pada suku bunga rendah. Reputasi dan peringkat kredit perusahaan multifinance memegang peranan krusial dalam pengambilan keputusan investasi. Dengan kata lain, investor akan lebih selektif dan cenderung memilih perusahaan dengan profil risiko yang lebih rendah.
Walau Kupon Turun, Leasing Masih Menahan Diri Merilis Obligasi
Senada dengan hal tersebut, Fixed Income Analyst PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo), Ahmad Nasrudin, berpendapat bahwa penurunan suku bunga BI memang dapat menjadikan pasar surat utang sebagai alternatif pendanaan yang menarik. Akan tetapi, ia meyakini bahwa hal ini bukanlah satu-satunya faktor yang mendorong perusahaan multifinance untuk secara agresif menerbitkan surat utang.
“Apakah akan agresif untuk menerbitkan surat utang? Saya mengira tidak sesederhana itu. Per Juli 2025, hanya ada 8 multifinance yang berencana menerbitkan surat utang ke depan dengan total nominal Rp 9,1 triliun,” jelas Ahmad, mengindikasikan bahwa minat penerbitan obligasi tidak serta merta melonjak meskipun suku bunga menurun.
Ahmad kemudian menguraikan dua alasan utama mengapa penurunan suku bunga BI tidak secara otomatis memacu penerbitan surat utang secara besar-besaran. Pertama, pertumbuhan sektor multifinance saat ini cenderung melambat. Akibatnya, kebutuhan untuk mencari pendanaan tambahan juga tidak se-agresif sebelumnya. Ini berarti, perusahaan mungkin hanya akan menerbitkan obligasi untuk menggantikan surat utang yang jatuh tempo.
“Jadi, mungkin penerbitan surat utang ke depan lebih banyak didominasi untuk pembiayaan kembali surat utang yang jatuh tempo,” imbuhnya.
Kedua, Ahmad menyoroti bahwa daya serap pasar juga menjadi pertimbangan penting. Perusahaan multifinance dengan peringkat rendah mungkin menghadapi kesulitan dalam menerbitkan surat utang karena investor cenderung lebih berhati-hati. Dengan prospek pertumbuhan yang melambat, investor mungkin melihat adanya peningkatan risiko di industri multifinance, sehingga mereka lebih memilih untuk berinvestasi pada obligasi yang diterbitkan oleh perusahaan dengan peringkat yang lebih baik.
Multifinance Tetap Rajin Merilis Obligasi
Pada akhirnya, situasi ini dapat memengaruhi minat perusahaan multifinance berperingkat rendah untuk menerbitkan surat utang. Kekhawatiran terkait dengan kemampuan pasar untuk menyerap obligasi mereka menjadi pertimbangan utama. Dengan demikian, penurunan suku bunga acuan BI hanyalah salah satu dari sekian banyak faktor yang memengaruhi keputusan perusahaan multifinance terkait penerbitan obligasi.
Ringkasan
Penurunan suku bunga BI hingga 5% berpotensi menurunkan bunga pinjaman dan obligasi multifinance, yang merupakan sumber pendanaan penting. Namun, Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan OJK, Agusman, menekankan bahwa reputasi dan peringkat kredit perusahaan tetap krusial bagi investor.
Fixed Income Analyst Pefindo, Ahmad Nasrudin, menambahkan bahwa penurunan suku bunga bukanlah satu-satunya faktor pendorong penerbitan obligasi. Perlambatan pertumbuhan sektor multifinance dan daya serap pasar yang selektif, terutama bagi perusahaan berperingkat rendah, menjadi pertimbangan penting yang membatasi minat penerbitan obligasi secara agresif.