BANYU POS JAKARTA. Aliran dana asing terus meninggalkan pasar saham Indonesia, sebuah fenomena yang terjadi meskipun Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mencetak rekor tertinggi sepanjang masa (all time high) dan berhasil mempertahankan posisinya di atas level 8.000.
Pada perdagangan Kamis (18/9/2025), IHSG ditutup melemah tipis sebesar 0,21% atau 16,746 poin, berada di level 8.008.
Meskipun terkoreksi, IHSG masih mampu bertahan di atas level psikologis 8.000. Level ini berhasil dicapai setelah Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk memangkas suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 4,75% dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) yang berlangsung pada Rabu (17/9/2025). Secara keseluruhan, IHSG telah mencatatkan kenaikan sebesar 13,11% sejak awal tahun (year to date atau YTD).
Sayangnya, performa IHSG yang positif ini tidak sejalan dengan pergerakan nilai tukar rupiah dan arus modal asing. Pada hari yang sama, Kamis (18/9/2025), nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) ditutup pada level Rp 16.527, melemah 0,54% dibandingkan penutupan hari sebelumnya yang berada di level Rp 16.437 per dolar AS.
IHSG Ditutup Terkoreksi 0,21% Kamis (18/9), Top Losers LQ45: AMRT, MAPA, MDKA
Data dari Bursa Efek Indonesia (BEI) menunjukkan bahwa dana asing terus mengalir keluar dari pasar saham domestik. Pada Kamis (18/9/2025), tercatat net outflow sebesar Rp 358,27 miliar.
Secara akumulatif, sejak awal tahun 2025, total dana asing yang keluar dari pasar saham Indonesia mencapai Rp 61,56 triliun.
Berdasarkan data dari RTI, saham-saham seperti PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), PT Bank Mandiri Tbk (BMRI), dan PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) menjadi yang paling banyak dilepas oleh investor asing pada hari Kamis (18/9). Ketiganya mencatatkan net sell masing-masing sebesar Rp 838,9 miliar, Rp 248,6 miliar, dan Rp 121,5 miliar.
Investor Timbang Risiko
Ekonom Panin Sekuritas, Felix Darmawan, berpendapat bahwa derasnya aliran dana asing keluar disebabkan oleh investor global yang masih mempertimbangkan berbagai faktor risiko domestik. Faktor-faktor tersebut antara lain ketidakpastian fiskal pasca pergantian menteri keuangan dan proyeksi pergerakan nilai tukar rupiah yang cenderung melemah.
Secara sektoral, investor asing juga cenderung mengurangi kepemilikan pada saham-saham perbankan besar (big banks), seperti PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), BBCA, dan BMRI, serta saham-saham komoditas berbasis energi.
“Alasannya, karena valuasi saham-saham tersebut sudah relatif tinggi,” ungkap Felix kepada Kontan, Kamis (18/9).
Menurut Felix, sebagian besar dana asing yang keluar dari Indonesia dialihkan ke pasar obligasi negara berkembang lain yang menawarkan imbal hasil yang lebih menarik, seperti India dan Meksiko.
“Selain itu, ada juga yang beralih ke ekuitas di negara-negara yang memiliki stabilitas politik dan fiskal yang lebih terjaga, seperti Thailand,” imbuhnya.
Managing Director Research & Digital Production Samuel Sekuritas Indonesia, Harry Su, menambahkan bahwa banyak dana asing yang bergeser ke bursa regional lain yang dianggap lebih stabil, seperti Kospi (Korea Selatan), Hang Seng (Hong Kong), TWSE (Taiwan), dan Nikkei (Jepang).
IHSG Turun dari Rekor Tertinggi Hari Ini (18/9), Net Sell Terbesar di Saham Bank
Tertolong Saham Grup Konglomerat
Kenaikan IHSG belakangan ini lebih banyak didorong oleh pergerakan saham-saham tertentu yang berasal dari Grup Konglomerasi, seperti PT DCI Indonesia Tbk (DCII), PT Dian Swastatika Sentosa Tbk (DSSA), PT Barito Pacific Tbk (BRPT), PT Chandra Daya Investasi Tbk (CDIA), dan PT Multipolar Technology Tbk (MLPT).
Harry menghitung bahwa tanpa kontribusi kelima saham tersebut, posisi IHSG per 18 September sebenarnya hanya berada di kisaran 7.201, atau dengan selisih hingga 10,1%. Level ini bahkan masih lebih rendah dibandingkan level IHSG pada tahun 2023 yang sebesar 7.273.
“Kelima saham tersebut memiliki simple average price to earning ratio (PER) hampir 500x, sementara menurut data Bloomberg, average market PER saham Indonesia hanya sekitar 12x,” jelasnya kepada Kontan, Kamis (18/9).
Pengamat pasar modal sekaligus Direktur Avere Investama, Teguh Hidayat, menyayangkan bahwa pergerakan IHSG saat ini tidak lagi mencerminkan pergerakan pasar saham Indonesia secara keseluruhan. Hal ini disebabkan karena kenaikan yang terjadi lebih bersifat semu dan hanya digerakkan oleh beberapa saham dari Grup Konglomerasi.
Indikasi ini juga tercermin dari pergerakan indeks LQ45 yang mengalami penurunan sebesar 0,73% pada hari ini dan terkoreksi 2,10% secara YTD, berbanding terbalik dengan pergerakan IHSG sejak awal tahun.
“Saham-saham itu (penggerak IHSG) tidak banyak diminati asing, kalaupun ada jumlahnya kecil. Akibatnya, pergerakan IHSG tetap didominasi oleh investor domestik, meskipun bukan investor ritel. Sebab, yang membeli lebih banyak berasal dari para pemegang saham pengendalinya,” ungkapnya kepada Kontan, Kamis (18/9).
IHSG Bertahan di Level 8.000, Simak Proyeksi Pergerakannya
Sementara itu, emiten-emiten yang tergabung dalam indeks LQ45 memiliki porsi investor asing yang lebih besar. Alhasil, meskipun IHSG mengalami kenaikan, minat investor asing untuk menanamkan modal di pasar saham Indonesia tetap menurun.
Salah satu sentimen yang menyebabkan investor asing meninggalkan pasar saham Indonesia adalah kebijakan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang menginjeksi dana sebesar Rp 200 triliun kepada bank-bank Himbara (Himpunan Bank Milik Negara).
“Ini merupakan intervensi dari pemerintah terhadap kinerja perbankan, yang menyebabkan Himbara mendapat beban tambahan, baik dari Kementerian Keuangan maupun Danantara,” jelasnya.
Teguh melihat adanya potensi investor asing untuk beralih ke pasar saham Jepang dan China. Indikasi ini terlihat dari indeks Nikkei 225 Jepang yang ditutup menguat 1,15% ke rekor baru 45.303,43 pada perdagangan hari ini.
Prospek dan Rekomendasi
Untuk mengatasi anomali pergerakan IHSG, Teguh berpendapat bahwa perlu adanya perombakan kebijakan terkait initial public offering (IPO). Bursa Efek Indonesia (BEI) harus membuat aturan yang lebih ketat untuk meningkatkan kualitas emiten yang akan melakukan IPO.
Selain itu, kebijakan terkait liquidity provider juga sebaiknya dievaluasi ulang. Sebab, kebijakan tersebut dinilai hanya berfungsi sebagai stimulan sementara, bukan solusi jangka panjang untuk mengatasi masalah likuiditas di pasar saham Indonesia.
IHSG diperkirakan masih berpotensi untuk bergerak di kisaran 8.000 – 8.500 pada akhir tahun 2025. Namun, hal ini tidak serta merta menandakan bahwa pasar saham domestik berada dalam kondisi yang baik-baik saja.
“IHSG yang tidak lagi mencerminkan kondisi pasar secara riil membuat investor merasa kebingungan,” ungkapnya. Bahkan, jika investor memilih untuk menggunakan pergerakan indeks LQ45 sebagai acuan dalam berinvestasi, strategi ini tampaknya kurang populer dan kinerja emiten-emiten konstituennya cenderung mengalami penurunan.
Emiten Ramai Gelar Buyback, Cermati Rekomendasi Analis Berikut
Sebagai alternatif, Teguh menyarankan investor untuk mencermati saham-saham komoditas seperti minyak kelapa sawit (CPO), emas, dan nikel. Sentimen positif untuk emiten CPO dan emas berasal dari kenaikan harga kedua komoditas tersebut. Sementara itu, sentimen untuk emiten nikel berasal dari kebijakan pemerintah yang terus berfokus pada pengembangan hilirisasi.
“TAPG, LSIP, AALI itu tengah naik. Tidak usah bingung dengan (pergerakan) IHSG, fokus saja di saham-saham itu,” sarannya. Teguh juga tidak merekomendasikan investor untuk melirik saham-saham perbankan saat ini, mengingat beban yang mereka tanggung setelah mendapatkan injeksi dana sebesar Rp 200 triliun dari Kementerian Keuangan.
Felix memperkirakan bahwa tren net sell oleh investor asing berpotensi untuk berlanjut hingga akhir tahun, meskipun tekanannya mungkin akan lebih moderat seiring dengan penurunan suku bunga global. Kenaikan IHSG yang terjadi di tengah aksi jual bersih oleh investor asing sebenarnya bukan merupakan masalah besar, karena investor domestik menjadi penopang utama pergerakan pasar.
Sentimen positif ke depan diperkirakan akan datang dari pelonggaran kebijakan moneter oleh BI, stimulus fiskal dari pemerintah, dan ekspektasi pertumbuhan ekonomi yang stabil di kisaran 5%.
“Sementara itu, sentimen negatif berasal dari potensi pelemahan nilai tukar rupiah, ketidakpastian kebijakan fiskal, dan tensi geopolitik global,” jelasnya.
Dalam kondisi saat ini, investor asing kemungkinan akan tetap selektif dalam memilih saham. Sektor perbankan besar dan sektor konsumer defensif masih dianggap menarik karena memiliki fundamental yang solid, profitabilitas yang kuat, dan berperan sebagai proksi pertumbuhan ekonomi domestik.
“Saham-saham BUMN bisa kembali dilirik nanti jika ada kepastian kebijakan dividen dan arah restrukturisasi yang jelas. Sementara itu, emiten-emiten dari grup konglomerasi tetap menjadi pilihan untuk diversifikasi portofolio,” paparnya.
Masih Wajar
Investment Analyst Infovesta Utama, Ekky Topan, berpendapat bahwa kenaikan IHSG yang terjadi bersamaan dengan aksi jual bersih oleh investor asing saat ini sebenarnya masih dalam batas wajar. Hal ini menunjukkan bahwa investor domestik memiliki kekuatan yang cukup besar dan mampu menjadi penopang utama pasar.
Bahkan, kondisi ini bisa menjadi sinyal bahwa pasar saham Indonesia semakin resilien. “Jika dalam waktu dekat kepercayaan investor asing mulai pulih, maka IHSG berpotensi menguat lebih tinggi dengan dukungan dari dua arah, baik dari investor domestik maupun asing,” katanya kepada Kontan, Kamis (18/9).
Dari sisi sektoral, saham-saham perbankan dengan kapitalisasi besar (big caps), seperti BMRI dan BBRI, masih menjadi pilihan utama bagi investor asing dalam jangka panjang. Hal ini disebabkan karena keduanya memiliki likuiditas yang besar, dividend yield yang menarik, serta eksposur yang luas terhadap pembiayaan ekonomi nasional.
Kinerja SSMS Semester I 2025 Tumbuh Double Digit, Simak Rekomendasi Analis
Selain itu, sektor energi baru dan tambang, seperti MDKA, INCO, dan MEDC, juga patut untuk diperhatikan. “Sektor ini sejalan dengan agenda hilirisasi pemerintah serta tren global transisi energi yang ramah lingkungan (ESG),” ungkapnya.
Senada dengan Felix dan Ekky, Harry menyampaikan bahwa pemangkasan suku bunga BI sebesar 25 bps menjadi 4,75% membuka peluang bagi arus dana asing untuk kembali masuk ke pasar saham Indonesia, terutama ke sektor perbankan karena akan menekan biaya dana (cost of fund/CoF) dan berpotensi meningkatkan margin bunga bersih (net interest margin/NIM).
“Namun, risiko outflow tetap ada akibat ketidakpastian politik, defisit fiskal, dan arah regulasi yang belum jelas,” katanya. Harry memproyeksikan bahwa IHSG berpotensi mencapai level 8.200 pada akhir tahun 2025.
Jika aliran dana asing kembali masuk, sektor perbankan diperkirakan akan menjadi destinasi utama. Saham-saham bank BUMN berpotensi mendapatkan perhatian yang lebih besar, terutama jika laporan keuangan mereka di kuartal II 2025 menunjukkan adanya perbaikan NIM setelah penurunan CoF pasca pemangkasan suku bunga.
Harry melihat bahwa BBCA berpotensi menjadi salah satu saham unggulan jika terjadi foreign inflow. Meskipun mencatatkan net sell asing sebesar Rp3,8 triliun pada pekan lalu, BBCA tetap memiliki fundamental yang solid dengan kualitas aset yang terjaga.
“Basis Current Account Savings Account (CASA) dominan, serta return of equity (ROE) terbaik di sektor perbankan yaitu sebesar 25,2%, dibandingkan dengan tahun 2024 yang sebesar 24,8%,” ungkapnya. Harry pun memberikan rekomendasi beli untuk saham BBCA dengan target harga Rp 10.000 per saham.
Indeks Basic Material Menguat 38,31%, Cermati Rekomendasi Sahamnya
Ringkasan
IHSG berhasil mempertahankan posisinya di atas level 8.000 meskipun terjadi net outflow dana asing sebesar Rp 358,27 miliar pada Kamis (18/9/2025), sehingga secara akumulatif sejak awal tahun mencapai Rp 61,56 triliun. Ekonom berpendapat bahwa hal ini disebabkan oleh kekhawatiran investor global terhadap risiko domestik seperti ketidakpastian fiskal dan proyeksi pelemahan rupiah. Beberapa saham perbankan besar seperti BBCA, BMRI, dan BBNI menjadi yang paling banyak dilepas asing.
Kenaikan IHSG lebih banyak didorong oleh saham-saham Grup Konglomerasi, sementara indeks LQ45 justru mengalami penurunan. Investor disarankan untuk mencermati saham-saham komoditas seperti CPO, emas, dan nikel, dan menghindari saham perbankan karena beban tambahan dari injeksi dana pemerintah. Meskipun demikian, beberapa analis melihat kondisi ini masih wajar dan potensi IHSG menguat didukung investor domestik, serta adanya potensi foreign inflow di sektor perbankan jika ada kepastian kebijakan dan perbaikan NIM.