BANYU POS – JAKARTA. Kinerja PT Vale Indonesia Tbk (INCO), emiten pertambangan nikel, diperkirakan akan menghadapi serangkaian tantangan di semester II-2025. Fluktuasi harga nikel dan beban produksi yang berpotensi menggerus margin menjadi perhatian utama.
Pada semester I-2025, INCO mencatatkan penurunan laba bersih sebesar 32% secara tahunan (year on year/YoY) menjadi US$ 25,2 juta. Pendapatan perusahaan juga menyusut 11% YoY menjadi US$ 426,7 juta. Penurunan ini dipicu oleh penurunan harga jual rata-rata (ASP) nikel matte sebesar 5% menjadi US$ 12.014 per ton.
Analis Ina Sekuritas, Arief Machrus, menyoroti penurunan tajam laba bersih INCO pada kuartal II-2025, yang anjlok 89% YoY menjadi hanya US$ 3,5 juta. Kenaikan beban pokok pendapatan sebesar 12% secara quarter on quarter (QoQ) akibat lonjakan biaya bahan bakar menjadi penyebab utama. Meskipun demikian, perusahaan berhasil menekan biaya operasional sebesar 3%.
IHSG Perkasa ke 8.081,5 di Akhir Sesi Pertama, ADRO, INCO, SMRA Jadi Top Gainers LQ45
Di sisi lain, INCO mendapatkan angin segar dengan disetujuinya peningkatan kuota bijih saprolit dalam Rencana Kerja dan Anggaran (RKAB) tahun 2025. Kuota yang semula 290.000 metrik ton basah (wmt/wet metric ton) ditingkatkan menjadi 2,2 juta wmt, membuka peluang signifikan untuk peningkatan penjualan bijih nikel.
“Manajemen telah merevisi asumsi untuk segmen bijih nikel, merefleksikan kuota yang lebih tinggi, proyeksi harga jual rata-rata yang diperbarui, serta penyesuaian biaya. Langkah serupa juga diterapkan pada segmen nikel matte untuk memperhitungkan tren konsumsi bahan bakar aktual,” jelas Arief dalam risetnya tertanggal 13 Agustus 2025.
Prospek pertumbuhan INCO ke depan akan ditopang oleh proyek smelter Bahadopi dan Pomalaa, yang keduanya berjalan lebih cepat dari jadwal. Proyek Bahadopi diperkirakan akan memulai produksi bijih nikel pada akhir tahun 2025, sementara Pomalaa dijadwalkan beroperasi pada tahun 2026.
“Proyek-proyek ini, bersama dengan peningkatan kuota produksi, transparansi biaya yang lebih baik, dan inisiatif efisiensi energi, diharapkan dapat memperkuat profitabilitas perusahaan pada semester kedua tahun 2025,” imbuh Arief.
Selain itu, perusahaan juga tengah mengembangkan ekspansi hilir melalui proyek Pelindian Asam Bertekanan Tinggi (HPAL). Proyek strategis ini bertujuan untuk memasok nikel tingkat baterai ke pasar kendaraan listrik dan penyimpanan energi yang terus berkembang pesat.
Analis JP Morgan Sekuritas Indonesia, Benny Kuriawan, mengungkapkan bahwa premi harga bijih saprolit kadar tinggi (1,7% ke atas) telah meningkat menjadi lebih dari US$ 22 – US$ 25/wmt pada kuartal kedua dan tetap tinggi hingga kuartal ketiga.
“Sebanyak 2,2 juta wmt saprolit INCO dari blok Bahodopi berpotensi dihargai US$ 55/wmt, jauh di atas perkiraan awal kami sebesar US$ 44 – US$ 46/wmt,” papar Benny dalam risetnya tertanggal 17 September 2025.
Begini Rekomendasi Saham Teknikal ENRG, INCO dan KLBF untuk Hari Ini (23/9)
Meskipun JP Morgan meyakini bahwa kondisi harga bijih saprolit yang kuat akan terus berlanjut, sebagian besar penjualan bijih INCO kepada mitra HPAL akan berupa limonit. “Berbeda dengan saprolit, limonit tidak menikmati harga premium karena pasokannya yang relatif melimpah,” jelas Benny.
JP Morgan juga telah merevisi naik proyeksi harga jangka panjang untuk saprolit INCO menjadi US$ 42/wmt (dari US$ 38/wmt). Namun, harga limonit tetap dipertahankan pada level US$ 16/wmt. “Kami juga telah menyesuaikan tingkat pembayaran nikel matte INCO menjadi 82% (dari 78%), sesuai dengan kontrak terbaru,” terang Benny.
Investment Analyst Infovesta Utama, Ekky Topan, menilai bahwa produksi nikel matte hingga kuartal II menunjukkan pertumbuhan yang baik secara kuartalan. Persetujuan revisi RKAB yang memungkinkan penjualan saprolite ore dari Blok Bahodopi menjadi katalis positif tambahan, membuka potensi peningkatan kontribusi pendapatan mulai akhir tahun, terutama jika realisasi harga jual tetap stabil.
Namun, Ekky mengingatkan bahwa masih ada sejumlah tantangan yang perlu diwaspadai. Pertama, fluktuasi harga nikel global yang sangat sensitif terhadap kondisi ekonomi Tiongkok dan permintaan baterai kendaraan listrik (EV). Kedua, beban produksi dan logistik yang berpotensi menekan margin jika tidak diantisipasi dengan baik. Ketiga, risiko penundaan ekspansi atau proyek HPAL karena kebutuhan pembiayaan yang cukup besar, mengingat INCO juga sedang menyiapkan skema pembiayaan untuk tahun 2026–2027 yang nilainya bisa mencapai US$ 1 miliar – US$ 1,2 miliar.
Lebih lanjut, Ekky melihat sentimen yang perlu dicermati hingga akhir tahun adalah perkembangan proyek hilirisasi (HPAL, Bahodopi), stabilitas harga nikel, serta kelanjutan komitmen dari mitra strategis seperti Huayou dan GEM China.
“Selain itu, arah kebijakan pemerintah di sektor pertambangan dan hilirisasi juga menjadi kunci karena akan memengaruhi keekonomian proyek jangka panjang INCO,” pungkas Ekky kepada Kontan, Selasa (30/9/2025).
Benny memproyeksikan pendapatan dan laba bersih INCO pada tahun 2025 masing-masing sebesar US$ 951 juta dan US$ 76 juta. Sebagai perbandingan, pada tahun 2024, INCO membukukan pendapatan US$ 950,38 juta dan laba bersih US$ 57,76 juta.
Arief dan Ekky merekomendasikan buy saham INCO dengan target harga masing-masing Rp 4.650 per saham dan Rp 5.000 per saham. Sementara itu, Benny merekomendasikan netral saham INCO dengan target harga Rp 4.100 per saham.
Ringkasan
PT Vale Indonesia Tbk (INCO) diperkirakan menghadapi tantangan di semester II-2025 akibat fluktuasi harga nikel dan beban produksi. Laba bersih INCO pada semester I-2025 turun 32% YoY menjadi US$ 25,2 juta, dipicu penurunan harga jual nikel matte. Namun, INCO memperoleh angin segar dengan disetujuinya peningkatan kuota bijih saprolit yang membuka peluang peningkatan penjualan.
Prospek INCO ditopang proyek smelter Bahadopi dan Pomalaa, yang berjalan lebih cepat dari jadwal dan diharapkan memperkuat profitabilitas. Analis merekomendasikan strategi yang berbeda untuk saham INCO. Arief dan Ekky merekomendasikan buy, sementara Benny merekomendasikan netral.