Bea Masuk PLTS Hambat Investasi? IESR Desak Pembebasan!

Hikma Lia

Industri modul surya di Indonesia membutuhkan dorongan lebih agar bisa berkembang pesat. Salah satu caranya adalah dengan memberikan insentif, terutama pembebasan bea masuk untuk bahan baku pembangkit listrik tenaga surya (PLTS). Langkah ini diharapkan mampu menggairahkan industri dalam negeri sekaligus meningkatkan permintaan akan energi bersih.

Alvin Putra, Analis Ketenagalistrikan dan Energi Terbarukan dari Institute for Essential Services Reform (IESR), menjelaskan bahwa saat ini sudah ada insentif pajak bagi perusahaan yang berinvestasi di kawasan industri atau kawasan ekonomi khusus. Namun, insentif ini belum menyentuh aspek krusial, yaitu pembebasan bea masuk impor bahan baku.

“Padahal, 50 hingga 60 persen dari total biaya produksi industri modul surya berasal dari impor bahan baku,” ungkap Alvin dalam sebuah media briefing di Jakarta, Selasa, 2 September 2025. Hal ini menjadi tantangan utama bagi daya saing produk lokal.

Akibatnya, harga modul surya buatan dalam negeri menjadi relatif lebih mahal, sekitar 30-40 persen dibandingkan produk impor. Kondisi ini berdampak pada penyerapan kapasitas produksi yang saat ini mencapai 11,7 GWp per tahun, dan masih perlu ditingkatkan. Untuk menjembatani kesenjangan harga tersebut, insentif seperti pembebasan bea masuk bahan baku menjadi sangat krusial.

Lebih lanjut, Alvin menekankan pentingnya jaminan permintaan yang konsisten dari dalam negeri, terutama melalui proyek PLTS skala utilitas, untuk menjaga keberlanjutan investasi pada rantai pasok. Pemerintah perlu merancang strategi yang cermat agar aturan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) tetap menarik investasi sekaligus melindungi industri lokal.

Kondisi industri sel surya di Indonesia juga menjadi sorotan. Meskipun beberapa pabrik telah berdiri, sebagian besar produksinya masih diekspor karena harga jual di pasar internasional lebih menggiurkan. Hal ini menyebabkan pasar domestik untuk sel surya menjadi terbatas, karena industri modul surya belum berkembang secara optimal. Alvin menggarisbawahi bahwa industri modul surya di Indonesia berada di persimpangan jalan, berpotensi untuk maju pesat atau justru mengalami stagnasi.

Pada kesempatan yang sama, Marlistya Citraningrum, Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan IESR, menyampaikan bahwa pemanfaatan PLTS di Indonesia berkembang dengan pola yang berbeda di setiap skala, mulai dari elektrifikasi desa, kebutuhan industri, hingga pembangkit skala utilitas. Namun, tantangan yang dihadapi relatif serupa, yaitu regulasi yang sering berubah, keterbatasan skema pembiayaan, serta rantai pasok domestik yang masih lemah.

Marlistya memaparkan bahwa dalam lima tahun terakhir, Indonesia sebenarnya mulai menunjukkan momentum positif dalam pengembangan PLTS. Regulasi khusus untuk PLTS atap yang diterbitkan pada tahun 2018 telah mendorong adopsi yang relatif cepat, terutama di sektor industri dengan kapasitas mencapai puluhan MW per lokasi. Hingga Mei 2025, total kapasitas terpasang PLTS nasional berhasil melampaui 1.000 MW.

Menanggapi hal ini, Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Kementerian ESDM, Andriah Feby Misna, menjelaskan bahwa pemerintah saat ini sedang menyusun regulasi pendukung pengembangan energi terbarukan di Indonesia, termasuk revisi Perpres Nomor 112 Tahun 2022 dan Peraturan Menteri ESDM tentang PLTS Operasi Paralel.

Andriah juga mengajak pemerintah daerah untuk berperan aktif dalam pengembangan energi terbarukan, antara lain dengan menyelaraskan tata ruang wilayah untuk mendukung investasi PLTS, menjadi mediator dalam isu pembebasan lahan, mengalokasikan APBD untuk proyek PLTS di bangunan pemerintah dan publik, serta memberikan insentif untuk pengembangan dan pemanfaatan energi terbarukan.

Pilihan Editor: Mengapa Pemerintah Terus Menambah Bandara Internasional

Ringkasan

IESR mendesak pemerintah untuk memberikan insentif pembebasan bea masuk bahan baku untuk industri modul surya di Indonesia. Hal ini penting karena 50-60% biaya produksi berasal dari impor bahan baku, sehingga membuat harga modul surya lokal 30-40% lebih mahal dibandingkan produk impor. Insentif ini krusial untuk meningkatkan daya saing dan penyerapan kapasitas produksi yang saat ini 11,7 GWp per tahun.

Pemanfaatan PLTS di Indonesia berkembang di berbagai skala, namun menghadapi tantangan regulasi yang berubah-ubah, keterbatasan pembiayaan, dan rantai pasok domestik yang lemah. Pemerintah sedang menyusun regulasi pendukung, termasuk revisi Perpres Nomor 112 Tahun 2022, dan mengajak pemerintah daerah untuk berperan aktif dalam pengembangan energi terbarukan, termasuk PLTS.

Also Read

Tags