BANYU POS JAKARTA. Pasar saham Indonesia, yang tercermin dari kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), masih menjadi primadona di mata investor asing. Daya tariknya bahkan lebih kuat dibandingkan bursa-bursa regional lainnya, menjanjikan potensi keuntungan yang menggiurkan.
Pada penutupan perdagangan Kamis (28/8/2025), IHSG menunjukkan performa positif dengan kenaikan 0,20% atau 15,91 poin, mencapai level 7.952,08. Angka ini menjadi sinyal optimisme bagi para pelaku pasar.
Walaupun demikian, investor asing tercatat melakukan net sell sebesar Rp 278,61 miliar di seluruh pasar pada hari itu. Sebuah anomali yang perlu dicermati, namun tidak serta merta mengurangi optimisme secara keseluruhan.
Secara tren bulanan, aliran modal asing justru menunjukkan tren yang menggembirakan. Dana asing terus membanjiri pasar saham domestik, menandakan kepercayaan yang kuat terhadap prospek investasi di Indonesia.
Data dari Mandiri Sekuritas mencatat, hingga 20 Agustus 2025, investor asing telah membukukan net buy sebesar US$ 368 juta di Bursa Efek Indonesia. Angka ini menjadi bukti nyata derasnya arus modal yang masuk.
Adrian Joezer, Head of Equity Research and Strategy Mandiri Sekuritas, mengungkapkan bahwa fenomena masuknya dana asing ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Bursa-bursa besar di Asia juga mengalami hal serupa, menandakan sentimen global yang positif.
Per 20 Agustus 2025, pasar saham Jepang mencatat inflow asing sebesar US$ 21,39 miliar, sementara Korea Selatan mencatatkan US$ 1,83 miliar. Angka-angka fantastis ini mencerminkan optimisme investor terhadap prospek ekonomi di kawasan Asia.
Joezer menjelaskan bahwa tren positif ini didorong oleh ekspektasi pemangkasan suku bunga oleh The Fed dalam FOMC September 2025, serta pelemahan nilai tukar dolar AS. Kombinasi kedua faktor ini menciptakan iklim investasi yang kondusif.
“Penurunan yield obligasi juga turut meningkatkan likuiditas yang masuk ke pasar saham,” jelasnya dalam sebuah paparan. Hal ini menunjukkan bahwa investor mencari alternatif investasi yang lebih menguntungkan di tengah penurunan imbal hasil obligasi.
Bagi Indonesia, daya tarik pasar saham juga dipicu oleh valuasi saham yang dinilai masih relatif tertinggal, terutama setelah IHSG sempat mengalami tekanan di paruh pertama tahun ini. Ini memberikan peluang bagi investor untuk masuk dengan harga yang lebih menarik.
“Selain itu, ekspektasi masuknya sejumlah saham ke indeks global seperti MSCI mendorong inflow tambahan. Momentum ini sudah terlihat pekan lalu,” ujarnya, menambahkan faktor pendorong lainnya.
Mandiri Sekuritas menilai bahwa valuasi IHSG saat ini masih tergolong rendah, berada di kisaran 11,6 kali Price Earning (PE) dengan dividend yield 5,6%. Ini menjadikan pasar saham Indonesia sangat menarik dibandingkan dengan pasar lainnya.
Untuk saham-saham big caps yang tergabung dalam IDX30, valuasinya bahkan lebih murah lagi, yakni 10,6 kali PE dengan proyeksi dividend yield mencapai 5,9%. Ini menjadi daya tarik utama bagi investor yang mencari stabilitas dan keuntungan jangka panjang.
“Dengan yield SBN yang mulai menurun, saham blue chip berpotensi jadi pilihan karena memberikan imbal hasil relatif lebih menarik,” kata Joezer, menyoroti keunggulan investasi pada saham-saham unggulan.
Sejalan dengan pandangan tersebut, Head of Research Kiwoom Sekuritas Liza Camelia Suryanata menilai bahwa valuasi IHSG masih atraktif di kisaran forward PE 13,5–14 kali, masih di bawah rata-rata historis 10 tahun yang berada di sekitar 15 kali.
“Dengan foreign net buy yang sudah mencapai Rp 10,5 triliun dalam sebulan terakhir, ruang tambahan inflow tetap terbuka. Kuncinya adalah stabilitas makro tetap terjaga dan kinerja emiten kuartal III solid,” ujar Liza, memberikan pandangannya.
Meskipun demikian, Indonesia tetap harus bersaing ketat dengan pasar saham lain dalam menarik dana asing. Liza menyebutkan bahwa Vietnam dan India menjadi pesaing utama dalam perebutan modal investor.
“Vietnam unggul dari sisi valuasi yang lebih murah dan prospek industrialisasi cepat, sementara India ditopang konsumsi domestik yang besar,” katanya, menjelaskan keunggulan masing-masing negara pesaing.
Sementara itu, Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas Maximilianus Nico Demus menambahkan bahwa negara-negara seperti Thailand, China, Filipina, dan Vietnam juga menjadi kompetitor yang patut diperhitungkan.
“Pada akhirnya, negara yang mampu memberikan kepastian kebijakan akan lebih menarik bagi investor asing,” jelasnya, menekankan pentingnya stabilitas dan prediktabilitas dalam iklim investasi.
Untuk proyeksi ke depan, Nico memperkirakan IHSG hingga akhir 2025 akan bergerak di kisaran 7.740–7.920. Jika konsisten ditutup di atas 7.900, target berikutnya berada di 8.080 dengan probabilitas 69%.
Kiwoom Sekuritas lebih optimistis, dengan skenario IHSG melaju ke 7.800–8.000, didukung oleh inflow asing positif dan pertumbuhan laba emiten 10%–20% year on year (YoY). Proyeksi ini didasarkan pada fundamental ekonomi yang kuat dan prospek pertumbuhan yang menjanjikan.
“Forward PE di kisaran 14 kali masih tergolong wajar dan tidak terlalu mahal dibanding rata-rata kawasan,” pungkas Liza, memberikan penutup yang optimis mengenai prospek investasi di pasar saham Indonesia.
Ringkasan
Pasar saham Indonesia, yang tercermin dari IHSG, tetap menarik bagi investor asing karena potensi keuntungan yang menggiurkan. Meskipun terjadi *net sell* pada hari tertentu, tren bulanan menunjukkan *net buy* yang signifikan, mencerminkan kepercayaan terhadap pasar saham domestik. Ekspektasi pemangkasan suku bunga oleh The Fed dan valuasi saham Indonesia yang relatif tertinggal menjadi faktor pendorong utama.
Valuasi IHSG saat ini dinilai rendah dengan PE sekitar 11,6 kali dan *dividend yield* 5,6%, menjadikan saham Indonesia menarik dibandingkan pasar lain. Proyeksi ke depan menunjukkan potensi IHSG untuk terus meningkat, didukung oleh *inflow* asing positif dan pertumbuhan laba emiten. Meskipun demikian, Indonesia menghadapi persaingan ketat dengan negara lain seperti Vietnam dan India dalam menarik dana asing.